1.
Hipotesis pemerolehan dan pembelajaran (The Acquisition – Learning hypothesis)
Krashen
membedakan pemerolehan bahasa (language
acquisition) dengan pembelajaran bahasa (language learning). Pemerolehan bahasa menurutnya merupakan proses
seseorang secara tidak sadar dalam memperoleh bahasa kedua. Pemerolehan bahasa
terjadi seperti seorang anak kecil yang memperoleh bahasa pertama, ia dengan
tidak sadar mengetahui aturan-aturan maupun fitur-fitur bahasa karena ia hanya
sadar jika ia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Menurut Krashen dalam
pemerolehan bahasa ini, kita tidak selalu sadar tehadap aturan-aturan bahasa
yang kita peroleh tetapi kita memiliki ’rasa’ untuk melakukan pembenaran
(Krashen, 1982). Pemerolehan bahasa terjadi karena adanya interaksi secara
natural dengan menggunakan bahasa kedua untuk berkomunikasi.
Pembelajaran bahasa merupakan proses sadar seseorang
dalam belajar bahasa. Lain halnya dengan proses pemerolehan bahasa, melalui
pembelajaran bahasa seorang anak secara sadar mengetahui/mempelajari
aturan-aturan maupun fitur-fitur bahasa. Proses pembelajaran ini diidentikan
dengan proses pembelajaran bahasa yang dilakukan di kelas dimana fokusnya pada
bentuk dan aturan dari bahasa target (Mitchell dan Myles, 2004).
Hipotesis pemerolehan dan pembelajaran bahasa ini
mendapat kritik dari Michell dan Myles
(2004), menurut mereka definisi sadar (concious)
dan tidak sadar (subconcious) yang
diajukan oleh Krashen tidak jelas karena kita tidak dapat membedakan atau
menentukan secara jelas bahwa produksi bahasa pemelajar merupakan hasil dari
proses sadar atau tidak sadar.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran di kelas, pengajar
semestinya sadar bahwa proses yang terjadi adalah proses pembelajaran bahasa (learning language)., terlebih dalam
konteks bahasa Inggris sebagai bahaasa asing di Indonesia dimana bahasa
tersebut masih jarang digunakan di luar kelas. Sehingga dapat dikatakan
aturan-aturan bahasa dipelajari secara sadar, namun dengan konsep pemerolehan
bahasa (language acquisition) yang
didasari oleh proses natural penggunaan bahasa untuk berkomunikasi, kita dapat
menggunakan cara tersebut dengan menciptakan suasana belajar yang mendekati
natural. Bahasa digunakan untuk berkomunikasi tanpa menitikberatkan pada aturan
bahasa kemudian setelah berkomunikasi, pemelajar diarahkan untuk mengetahui
aturan-aturan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi.
2.
Hipotesis Urutan Alami (The Natural Order Hypothesis)
Krashen
mengatakan bahwa pemerolehan bahasa melalui urutan yang alami, beberapa aturan
bahasa diperoleh lebih dulu daripada aturan bahasa yang lain. Penelitian yang
dilakukan oleh Brown (dikutip dalam Krashen, 1982) terhadap pemerolehan bahasa
Inggris sebagai bahasa pertama pada anak menunjukkan bahwa anak-anak cenderung
memeroleh morfem gramatikal tertentu atau fungsi kata dibandingkan dengan yang
lain, contohnya pembentuk kata progresif (kata kerja +ing) pada “He is playing baseball” dan penanda
bentuk jamak (penambahan s) pada “two dogs” merupakan bentuk morfem yang
lebih dahulu diperoleh, sedangkan penanda orang ketiga (penambahan akhiran s pada kata kerja) pada “He lives in New York” dan bentuk posesif
(penambahan ‘s pada subjek) seperti “John’s hat” diperoleh belakangan,
setelah 6 bulan sampai satu tahun setelahnya.
Walaupun
penelitian yang dilakukan oleh Brown berdasarkan proses pemerolehan pada bahasa
pertama, namun menurut Dulay dan Burt (dikutip dalam Krashen, 1982),
pemerolehan morfem gramatikal pada pemelajar bahasa inggris sebagai bahasa
kedua juga menunjukkan adanya uturan alami. Hipotesis
urutan alami ini mendapat kritik antara lain karena tidak semua pemelajar
bahasa kedua mengadopsi urutan yang sama pada pemerolehan bahasa targetnya
(McLaughlin,1987 dalam Zafar 2009). Selain itu hipotesis urutan alami Krashen
hanya didasari pada morfem bahasa Inggris (Gass dan Selinker, 1994; McLaughlin,
1987 dalam Zafar 2009).
Dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa di kelas,
hendaknya pengajar tidak mendasari pengajaran bahasa pada urutan tata bahasa.
Bahkan Krashen (1982) menyarankan agar tidak mendasari penyusunan silabus pada
urutan gramatikal seperti hasil penelitian Brown (mendahulukan bentuk progresif
’ing’ kemudian bentuk orang ketiga ’s’).
3.
Hipotesis Monitor (The Monitor Hypothesis)
Dalam hipotesis ini Krashen
menyatakan bahwa pembelajaran (learning)
dan pemerolehan bahasa (acquisition)
digunakan dalam cara yang berbeda dalam perfomasi bahasa kedua. Dalam
hipotesis ini fungsi pembelajaran hanya untuk mengontrol atau memperbaiki suatu
ujaran bahasa. Sedangkan pemerolehan bahasa berfungsi sebagai inisator ujaran
yang berpengaruh pada kelancaran berkomunikasi (Krashen, 1982).
Pemelajar
hanya dapat melakukan kontrol jika memenuhi 3 kondisi yaitu: (1) waktu. Adanya
waktu yang cukup untuk melakukan kontrol. Namun dalam percakapan normal
umumnya, waktu untuk melakukan kontrol tidaklah cukup, (2) fokus pada bentuk.
Selain adanya waktu yang cukup untuk melakukan kontrol, pemelajar juga harus
fokus pada bentuk maupun aturan bahasa yang benar, dan (3) mengetahui aturan.
Selain kondisi 1 dan 2, pemelajar juga harus mengetahui aturan bahasa yang
benar dalam mengontrol bahasanya sehingga menghasilkan bentuk bahasa yang
benar.
Hipotesis
ini mendapat kritik dari McLaughlin (1987) yang menyatakan bahwa kontrol yang
berlebihan akan menghambat pemelajar dalam memproduksi ujaran. Pemelajar akan
terfokus pada aturan-aturan sehingga dapat menimbulkan kecemasan akan
memproduksi bahasa yang salah.
Dalam
kaitannya dengan pengajaran di kelas, seorang pengajar hendaknya memberikan
input yang cukup dan baik agar pemelajar dapat memprodiksi ujaran yang benar.
Namun hal yang terpenting ialah, seorang pengajar jangan terlalu fokus dan
mengharuskan pemelajar untuk memproduksi bentuk aturan yang benar khususnya
pada kemampuan lisan dan pada pemelajar pemula atau anak-anak, untuk
menghindari ketahukan pemelajar dalam memproduksi bahasa. Selain itu, pengajar
juga sebaiknya mempertimbangkan kriteria dalam penilaian. Jika pengajar
menginginkan fokus penilaian pada pemahaman terhadap struktur atau
aturan-aturan bahasa, maka hendaknya ia menciptakan kondisi yang sesuai seperti
yang telah disebutkan di atas.
4.
Hipotesis Input (The
Input Hypothesis)
Dalam hipotesis ini Krashen mengajukan
3 hal penting yaitu (1) bahwa pemelajar memeroleh bahasa dengan memahami input
yang berisi struktur yang sedikit diatas kemampuan pemelajar saat ini, yang
dirumuskan dengan (i+1) dimana ‘i’ adalah kemampuan pemelajar saat ini. Memahami
‘input’ dalam hipotesis ini berarti pemahaman terhadap makna dari suatu ujaran
(meaning).
Pemelajar
tidak memeroleh struktur bahasa dalam pembelajaran pertama kali melainkan
memahami makna suatu ujaran sehingga struktur dengan sendirinya diperoleh, (2)
Krashen mengatakan bahwa kita tidak mengajarkan keterampilan berbicara,
melainkan kita memberikan pemelajar input yang komprehensif (comprehensible input) dengan begitu maka
ketrampilan berbicara akan diperoleh dengan sendirinya, dan (3) input yang
terbaik bukanlah input yang terstruktur secara gramatikal namun jika pemelajar
mengerti input yang diberikan maka sebaiknya pemelajar diberikan input i+1 (Krashen
dalam Long dan Richard, 1987).
Hipotesis
ini dikritik oleh Mitchell dan Myles (2004) yang mengatakan bahwa tidak jelas
menentukan tingkat i maka bagaimana
caranya menentukan level i+1. Kritik terhadap input juga datang dari Swain yang
mengatakan bahwa input saja tidaklah cukup untuk pemelajar agar dapat memiliki
ketrampilan berbicara. Ia mengatakan bahwa memahami bahasa dan memproduksi
bahasa adalah dua hal yang berbeda. Memproduksi bahasa tidak cukup hanya dengan
diberikan input melainkan dengan mendorong pemelajar untuk memproduksi atau
berlatih menggunakan bahasa target. Hipotesis
dari Swain tersebut dikenal sebagai hipotesis ’Output’ (Swain: 1985 dalam Johnson: 2001).
Dalam
pengajaran bahasa di kelas, hendaknya pengajar mengetahui kemampuan terkini
pemelajar sehingga dapat memberikan input yang sesuai (i+1). Mengetahui
kemapuan pemelajar dapat dengan cara melakukan tes pada awal pembelajaran.
Selain itu, pemelajar juga harus diberikan kesampatan untuk menggunakan input
yang telah diberikan melalui berbagai latihan karena kemampuan berbahasa
seseorang dapat ditingkatkan melalui banyak latihan.
5.
Hipotesis Penyaringan Afeksi (The Affective Filter Hypothesis)
Hipotesis
ini berkaitan dengan hipotesis input. Krashen berpendapat bahwa dengan
memberikan input yang komprehensif saja tiak cukup, pemelajar juga harus
membiarkan agar input tersebut dapat diterima dan dimengerti (Krashen dalam
Mitchell dan Myles: 2004). Krashen berpendapat bahwa faktor afeksi dapat
mempengaruhi penerimaan input serta pemerolehan bahasa kedua (Krashen, 1982).
Variabel faktor-faktor afeksi terdiri dari 3 kategori yaitu: (1) Motivasi.
Pemelajar dengan motivasi yang tinggi umumnya menunjukkan performa yang lebih
baik diandingkan yang memiliki motivasi yang lemah, (2) percaya diri. Sama halnya
dengan motivasi, pemelajar yang memiliki rasa percaya diri tinggi cenderung
lebih baik dalam memeroleh bahasa kedua, dan (3) kecemasan. Pemelajar yang
memiliki kecemasan yang tinggi akan menghambat proses pemerolehan input,
sebaliknya pemelajar yang memiliki kecemasan yang rendah atau bahkan tidak
memiliki kecemasan dengan mudah akan memeroleh input.
Kritik
terhadap hipotesis ini datang dari Zafar (2009) yang tidak setuju dengan
pendapat Krashen bahwa tidak ada saringan afeksi pada anak-anak. Zafar berpendapat
bahwa anak-anak pun dapat terpengaruh oleh faktor personal seperti rasa tidak
aman, kecemasan, dan kurang percaya diri. Terebih lagi jika orang dewasa
memiliki saringan afeksi yang tinggi lalu mengapa ada orang dewasa yang
memiliki kemampuan bahasa seperti penutur jati? McLaughlin juga tidak setuju
dengan pendapat Krashen yang menyatakan bahwa pada masa pubertas saringan
afeksi pemelajar sangat tinggi sehingga dapat menghalangi masuknya input,
McLaughlin berpendapat sebaliknya bahwa pada masa pubertas, pemelajar memiliki
rasa ingin tahu yang sangat tinggi sehingga sikap terhadap input-inout yang
diberikan pun berdampak positif.
Merujuk pada
hipotesis ini, hendaknya pengajar dapat memberikan input yang komprehensif dan
menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi pemelajar sehingga faktor-faktor
yang dapat menghambat pemerolehan input atau bahasa kedua dapat dikurangi.
terima kasih!
BalasHapusBagus ... 5 hipotesis dari Krashen plus opini pribadi
BalasHapusTerimakasih...
BalasHapusSangat membantu kak