Jumat, 27 Maret 2015

Hipotesis Stephen Krashen



1.      Hipotesis pemerolehan dan pembelajaran (The Acquisition – Learning hypothesis)
Krashen membedakan pemerolehan bahasa (language acquisition) dengan pembelajaran bahasa (language learning). Pemerolehan bahasa menurutnya merupakan proses seseorang secara tidak sadar dalam memperoleh bahasa kedua. Pemerolehan bahasa terjadi seperti seorang anak kecil yang memperoleh bahasa pertama, ia dengan tidak sadar mengetahui aturan-aturan maupun fitur-fitur bahasa karena ia hanya sadar jika ia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Menurut Krashen dalam pemerolehan bahasa ini, kita tidak selalu sadar tehadap aturan-aturan bahasa yang kita peroleh tetapi kita memiliki ’rasa’ untuk melakukan pembenaran (Krashen, 1982). Pemerolehan bahasa terjadi karena adanya interaksi secara natural dengan menggunakan bahasa kedua untuk berkomunikasi. 
Pembelajaran bahasa merupakan proses sadar seseorang dalam belajar bahasa. Lain halnya dengan proses pemerolehan bahasa, melalui pembelajaran bahasa seorang anak secara sadar mengetahui/mempelajari aturan-aturan maupun fitur-fitur bahasa. Proses pembelajaran ini diidentikan dengan proses pembelajaran bahasa yang dilakukan di kelas dimana fokusnya pada bentuk dan aturan dari bahasa target (Mitchell dan Myles, 2004).
Hipotesis pemerolehan dan pembelajaran bahasa ini mendapat kritik dari  Michell dan Myles (2004), menurut mereka definisi sadar (concious) dan tidak sadar (subconcious) yang diajukan oleh Krashen tidak jelas karena kita tidak dapat membedakan atau menentukan secara jelas bahwa produksi bahasa pemelajar merupakan hasil dari proses sadar atau tidak sadar.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran di kelas, pengajar semestinya sadar bahwa proses yang terjadi adalah proses pembelajaran bahasa (learning language)., terlebih dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahaasa asing di Indonesia dimana bahasa tersebut masih jarang digunakan di luar kelas. Sehingga dapat dikatakan aturan-aturan bahasa dipelajari secara sadar, namun dengan konsep pemerolehan bahasa (language acquisition) yang didasari oleh proses natural penggunaan bahasa untuk berkomunikasi, kita dapat menggunakan cara tersebut dengan menciptakan suasana belajar yang mendekati natural. Bahasa digunakan untuk berkomunikasi tanpa menitikberatkan pada aturan bahasa kemudian setelah berkomunikasi, pemelajar diarahkan untuk mengetahui aturan-aturan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi.
2.      Hipotesis Urutan Alami (The Natural Order Hypothesis)
Krashen mengatakan bahwa pemerolehan bahasa melalui urutan yang alami, beberapa aturan bahasa diperoleh lebih dulu daripada aturan bahasa yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Brown (dikutip dalam Krashen, 1982) terhadap pemerolehan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama pada anak menunjukkan bahwa anak-anak cenderung memeroleh morfem gramatikal tertentu atau fungsi kata dibandingkan dengan yang lain, contohnya pembentuk kata progresif (kata kerja +ing) pada “He is playing baseball” dan penanda bentuk jamak (penambahan s) pada “two dogs” merupakan bentuk morfem yang lebih dahulu diperoleh, sedangkan penanda orang ketiga (penambahan akhiran s pada kata kerja) pada “He lives in New York” dan bentuk posesif (penambahan ‘s pada subjek) seperti “John’s hat” diperoleh belakangan, setelah 6 bulan sampai satu tahun setelahnya.
Walaupun penelitian yang dilakukan oleh Brown berdasarkan proses pemerolehan pada bahasa pertama, namun menurut Dulay dan Burt (dikutip dalam Krashen, 1982), pemerolehan morfem gramatikal pada pemelajar bahasa inggris sebagai bahasa kedua juga menunjukkan adanya uturan alami. Hipotesis urutan alami ini mendapat kritik antara lain karena tidak semua pemelajar bahasa kedua mengadopsi urutan yang sama pada pemerolehan bahasa targetnya (McLaughlin,1987 dalam Zafar 2009). Selain itu hipotesis urutan alami Krashen hanya didasari pada morfem bahasa Inggris (Gass dan Selinker, 1994; McLaughlin, 1987 dalam Zafar 2009).
Dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa di kelas, hendaknya pengajar tidak mendasari pengajaran bahasa pada urutan tata bahasa. Bahkan Krashen (1982) menyarankan agar tidak mendasari penyusunan silabus pada urutan gramatikal seperti hasil penelitian Brown (mendahulukan bentuk progresif ’ing’ kemudian bentuk orang ketiga ’s’).
3.      Hipotesis Monitor (The Monitor Hypothesis)
Dalam hipotesis ini Krashen menyatakan bahwa pembelajaran (learning) dan pemerolehan bahasa (acquisition) digunakan dalam cara yang berbeda dalam perfomasi bahasa kedua. Dalam hipotesis ini fungsi pembelajaran hanya untuk mengontrol atau memperbaiki suatu ujaran bahasa. Sedangkan pemerolehan bahasa berfungsi sebagai inisator ujaran yang berpengaruh pada kelancaran berkomunikasi (Krashen, 1982). 
Pemelajar hanya dapat melakukan kontrol jika memenuhi 3 kondisi yaitu: (1) waktu. Adanya waktu yang cukup untuk melakukan kontrol. Namun dalam percakapan normal umumnya, waktu untuk melakukan kontrol tidaklah cukup, (2) fokus pada bentuk. Selain adanya waktu yang cukup untuk melakukan kontrol, pemelajar juga harus fokus pada bentuk maupun aturan bahasa yang benar, dan (3) mengetahui aturan. Selain kondisi 1 dan 2, pemelajar juga harus mengetahui aturan bahasa yang benar dalam mengontrol bahasanya sehingga menghasilkan bentuk bahasa yang benar.
Hipotesis ini mendapat kritik dari McLaughlin (1987) yang menyatakan bahwa kontrol yang berlebihan akan menghambat pemelajar dalam memproduksi ujaran. Pemelajar akan terfokus pada aturan-aturan sehingga dapat menimbulkan kecemasan akan memproduksi bahasa yang salah.
Dalam kaitannya dengan pengajaran di kelas, seorang pengajar hendaknya memberikan input yang cukup dan baik agar pemelajar dapat memprodiksi ujaran yang benar. Namun hal yang terpenting ialah, seorang pengajar jangan terlalu fokus dan mengharuskan pemelajar untuk memproduksi bentuk aturan yang benar khususnya pada kemampuan lisan dan pada pemelajar pemula atau anak-anak, untuk menghindari ketahukan pemelajar dalam memproduksi bahasa. Selain itu, pengajar juga sebaiknya mempertimbangkan kriteria dalam penilaian. Jika pengajar menginginkan fokus penilaian pada pemahaman terhadap struktur atau aturan-aturan bahasa, maka hendaknya ia menciptakan kondisi yang sesuai seperti yang telah disebutkan di atas.
4.      Hipotesis Input (The Input Hypothesis)
Dalam hipotesis ini Krashen mengajukan 3 hal penting yaitu (1) bahwa pemelajar memeroleh bahasa dengan memahami input yang berisi struktur yang sedikit diatas kemampuan pemelajar saat ini, yang dirumuskan dengan (i+1) dimana ‘i’ adalah kemampuan pemelajar saat ini. Memahami ‘input’ dalam hipotesis ini berarti pemahaman terhadap makna dari suatu ujaran (meaning).
Pemelajar tidak memeroleh struktur bahasa dalam pembelajaran pertama kali melainkan memahami makna suatu ujaran sehingga struktur dengan sendirinya diperoleh, (2) Krashen mengatakan bahwa kita tidak mengajarkan keterampilan berbicara, melainkan kita memberikan pemelajar input yang komprehensif (comprehensible input) dengan begitu maka ketrampilan berbicara akan diperoleh dengan sendirinya, dan (3) input yang terbaik bukanlah input yang terstruktur secara gramatikal namun jika pemelajar mengerti input yang diberikan maka sebaiknya pemelajar diberikan input i+1 (Krashen dalam Long dan Richard, 1987).
Hipotesis ini dikritik oleh Mitchell dan Myles (2004) yang mengatakan bahwa tidak jelas menentukan tingkat i  maka bagaimana caranya menentukan level i+1. Kritik terhadap input juga datang dari Swain yang mengatakan bahwa input saja tidaklah cukup untuk pemelajar agar dapat memiliki ketrampilan berbicara. Ia mengatakan bahwa memahami bahasa dan memproduksi bahasa adalah dua hal yang berbeda. Memproduksi bahasa tidak cukup hanya dengan diberikan input melainkan dengan mendorong pemelajar untuk memproduksi atau berlatih menggunakan bahasa target. Hipotesis dari Swain tersebut dikenal sebagai hipotesis ’Output’ (Swain: 1985 dalam Johnson: 2001).
Dalam pengajaran bahasa di kelas, hendaknya pengajar mengetahui kemampuan terkini pemelajar sehingga dapat memberikan input yang sesuai (i+1). Mengetahui kemapuan pemelajar dapat dengan cara melakukan tes pada awal pembelajaran. Selain itu, pemelajar juga harus diberikan kesampatan untuk menggunakan input yang telah diberikan melalui berbagai latihan karena kemampuan berbahasa seseorang dapat ditingkatkan melalui banyak latihan.
5.      Hipotesis Penyaringan Afeksi (The Affective Filter Hypothesis)
Hipotesis ini berkaitan dengan hipotesis input. Krashen berpendapat bahwa dengan memberikan input yang komprehensif saja tiak cukup, pemelajar juga harus membiarkan agar input tersebut dapat diterima dan dimengerti (Krashen dalam Mitchell dan Myles: 2004). Krashen berpendapat bahwa faktor afeksi dapat mempengaruhi penerimaan input serta pemerolehan bahasa kedua (Krashen, 1982). Variabel faktor-faktor afeksi terdiri dari 3 kategori yaitu: (1) Motivasi. Pemelajar dengan motivasi yang tinggi umumnya menunjukkan performa yang lebih baik diandingkan yang memiliki motivasi yang lemah, (2) percaya diri. Sama halnya dengan motivasi, pemelajar yang memiliki rasa percaya diri tinggi cenderung lebih baik dalam memeroleh bahasa kedua, dan (3) kecemasan. Pemelajar yang memiliki kecemasan yang tinggi akan menghambat proses pemerolehan input, sebaliknya pemelajar yang memiliki kecemasan yang rendah atau bahkan tidak memiliki kecemasan dengan mudah akan memeroleh input.
Kritik terhadap hipotesis ini datang dari Zafar (2009) yang tidak setuju dengan pendapat Krashen bahwa tidak ada saringan afeksi pada anak-anak. Zafar berpendapat bahwa anak-anak pun dapat terpengaruh oleh faktor personal seperti rasa tidak aman, kecemasan, dan kurang percaya diri. Terebih lagi jika orang dewasa memiliki saringan afeksi yang tinggi lalu mengapa ada orang dewasa yang memiliki kemampuan bahasa seperti penutur jati? McLaughlin juga tidak setuju dengan pendapat Krashen yang menyatakan bahwa pada masa pubertas saringan afeksi pemelajar sangat tinggi sehingga dapat menghalangi masuknya input, McLaughlin berpendapat sebaliknya bahwa pada masa pubertas, pemelajar memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi sehingga sikap terhadap input-inout yang diberikan pun berdampak positif.
Merujuk pada hipotesis ini, hendaknya pengajar dapat memberikan input yang komprehensif dan menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi pemelajar sehingga faktor-faktor yang dapat menghambat pemerolehan input atau bahasa kedua dapat dikurangi.

3 komentar: