KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah selalu kami
panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang telah senantiasa melimpahkan rahmat, ni’mat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua,
sehingga kami sebagai penulis sekaligus penyusun dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ Madzhab Imam Syafi’i ”.
Shalawat serta Salam tetap dan selalu dilimpahkan kepada sang Revolusioner dunia sekaligus sebagai
Khotamul Ambiya’ Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa nilai –
nilai ideologi keagamaan dan pemikiran –
pemikiran yang benar dan kreatif sehingga menjadikan agama islam sebagai
agama yang Rahmatan Lil Alamin (rahmat bagi semua alam).
Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqih di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu dan Tarbiyah Keguruan UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang.
Selesainya
makalah ini tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak, baik itu dari dosen
pengajar atau pun pihak-pihak lainnya
yang turut membantu terselesaikannya makalah ini. Kami sebagai penyusun makalah
ini mengucapkan banyak terima kasih karena mereka semualah sehingga kami
mempunyai motivasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penyusun
berharap makalah ini dapat memberi manfaat dan gambaran atau pun menjadi referensi
kita dalam mempelajari dan
mengetahui tentang strategi pembelajaran bahasa Arab tingkat dasar, menengah, dan atas. Dalam makalah
ini penyusun menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala saran dan
kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami nantikan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan pembaca pada umumnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan pada uraian-uraian
materi makalah sebelumnya yang telah kita pelajari, telah kita ketahui tentang
sumber-sumber hukum Islam baik dari al
Qur’an, as Sunah maupun sumber-sumber lainya seperti ijma’, Qiyas, ijtihad, dan
lain-lainya. Namun pada zaman ini ijtihad sangat diperlukan mengingat
problem-problem yang semakin komplek yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam
yang bersifat amaliah, sedangkan al-Qur’an sebagai pedoman utama ajaran Islam tidak
menjelaskan semua permasalahan secara eksplisit, melainkan harus digali secara
mendalam untuk mendapatkan hukum-hukum
yang terperinci, oleh karena itu dibutuhkanlah ijtihad.
Dalam ilmu ushul fiqh dikenal
para ulama-ulama yang berjtihad dalam
merumuskan hukum-hukum fiqh diantaranya adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam
Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal. Dan untuk mengetahui sumber pengambilan hukum
yang digunakan para imam madzhab, khususnya Imam Syafi’I, maka dalam makalah
ini akan dikaji berbagai hal yang berkaitan dengan madzhab Syafi’i.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
riwayat
hidup Imam Syafi’i?
2. Apa sumber-sumber hukum yang digunakan dalam Madzhab
Imam Syafi’i?
3. Bagaimana Pemikiran Madzhab Imam Syafi’i dalam Fiqih?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui riwayat hidup Imam Syafi’i.
2. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum yang digunakan
dalam Madzhab Imam
Syafi’i.
3. Untuk mengetahui Pemikiran Madzhab Imam Syafi’i dalam Fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Madzhab Imam Syafi’i dalam Fiqih
1. Riwayat Hidup
Beliau
bernama Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i, nasab
beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul Manaf.
Dia dilahirkan pada tahun 150 H. bertepatan dengan dimana Imam Abu Hanifah
meninggal dunia. Dia dilahirkan di desa Ghazzah, Asqalan. Ketika usianya
mencapai dua tahun, ibunya mengajak pindah ke Hijaz dimana sebagian besar
penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Lalu
keduanya menetap di sana. Akan tetapi saat usianya telah mencapai sepuluh
tahun, ibunya mengajak pindah ke Makkah lantaran khawatir akan melupakan
nasabnya.
Imam Syafi`i
sejak kecil hidup dalam kemiskinan, pada waktu dia diserahkan ke bangku
pendidikan, para pendidik tidak memperoleh upah dan mereka hanya terbatas pada
pengajaran. Akan tetapi setiap kali seorang guru mengajarkan sesuatu pada
murid-murid, terlihat Syafi`i kecil denga ketajaman akal pikiran yang
dimilikinya mampu menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap
kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi`i kecil mengajarkan
kembali apa yang dia dengar dan dia pahami kepada anak-anak yang lain, sehingga
dai apa yang dilakukan Syafi`i kecil ini mendapatkan upah. Sesudah usianya
menginjak ke tujuh, Syafi`i telah berhasil menghafal al-Qur`an dengan baik.
Imam Syafi`i
bercerita: “Saat kami menghatamkan al-Qur`an dan memasuki masjid, kami duduk di
majlis para ulama. Kami berhasil menghafal beberapa hadits dan beberapa masalah
Fiqih. Pada waktu itu, rumah kami berada di Makkah. Kondisi kehidupan kami
sangat miskin, dimana kami tidak memiliki uang untuk membeli kertas, akan
tetapi kami mengambil tulang-tulang sehingga dapat kami gunakan untuk menulisnya". Imam Syafi'i amat gemar
mengembara, khususnya bertujuan menuntut ilmu.[1]
Beliau pindah ke Madinah untuk belajar fikih kepada Imam
Malik, pada usia dua puluh tahun sampai Imam Malik meninggal pada tahun 179 H.
pada tahun 184 H, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafi'i
didatangkan ke Baghdad bersama sembilan orang lainnya atas tuduhan
menggulingkan pemerintahan. Namun beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas
bantuan Muhammad Ibn al-Hasan Al-Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang
kemudian hari menjadi guru beliau.[2]
Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi'i kembali ke Mekkah al-Mukarramah, dengan
membawa ilmu ahl ra'yu, yang dia peroleh dari Muhammad bin al-Hasan
al-Syaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh dari
Imam Malik. Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad yang bertujuan untuk
berdiskusi tentang fikih.Tidak lama di Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan
ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal tahun 199 H. tak lama setelah
tinggal di Mesir, tepatnya tahun 2004 204 H wafat.Sebelum beliau wafat
menderita penyakit wasir yang parah, hingga terkadang jika naik kuda, darahnya
mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaos kakinya.Beliau rela
menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir. Selain itu, beliau terus
mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.[3]
2. Guru-Guru Imam Syafi'i
Imam Syafi'i merupakan ulama sintesis yang beraliran antara
ahl ra'yu dan ahl hadis (Kufah dan Madinah), di Kufah Imam Syafi'i menimba ilmu
kepada Muhammad Ibn al-Hasan al Syaibani yang merupakan murid sekaligus sahabat
dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah, beliau belajar kepada Imam Malik,
beliau (Imam Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu, beliau juga
berguru kepada ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun ulama Yaman yang
menjadi guru Imam Syafi'i yaitu :
1) Mutharaf
Ibn Mazim
2) Hisyam
Ibn Yusuf
3) 'Umar
Ibn Abi Salamah
4) Yahya
Ibn Hasan
Adapun
selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi'i belajar kepada beberapa ulama antara
lain:
1) Sufyan Ibn 'Uyainah
2) Muslim Ibn Khalid al-Zauji
3) Sa'id Ibn Salim al-Kaddah
4) Daud Ibn 'Abdurrahman
al-'Aththar
5) 'Abdul Hamid 'Abdul aziz
Ibn Muhammad ad-Dahrawardi
6) Ibrahim Ibn Abi Sa'id Ibn
Abi Fudaik
7) 'Abdullah Ibn Nafi'.
Selain
dua fikih di atas (aliran ra'yu dan hadis), Imam Syafi'i
juga belajar fikih aliran al-Auza'i dari 'Umar Ibn Abi Salamah dan fikih
al-Laits dari Yahya Ibn Hasan.
c.
Murid-Murid Imam Syafi'i
Imam
Syafi'i mempunyai banyak murid alam meneruskan kajian fikih dalam alirannya.
Yang paling berperan dalam pengembangan aliran fikih Imam Syafi'i ini antara
lain[4]
:
1) Al-Muzani
Nama
asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri yang lahir pada
tahun 185 H serta menjadi besar dalam menuntut ilmu dan periwayatan hadis. Saat
Imam Syafi'i datang ke Mesir pada tahun 1994, al-Muzani menemuinya dan belajar fikih kepadanya.
Al-Muzani dianggap orang yang paling pandai, serdas serta yang paling banyak
menyusun kitab untuk mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264 adapun kitab karangan beliau antara lain al-Jami'
al-Kabīr,
al-Jami' aş-Şagir, serta yang terkenal al-Mukhtaşar aş-Şagir.
2)
Al-Buwaiti
Nama
beliau adalah Abu Ya'qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti, yang berasal dari Bani
Buwait kampung di Tanah Tinggi Mesir.
Beliau adalah murid sekaligus sahabat Imam Syafi'i yang tertua bekebangsaan Mesir dan pengganti atau penerus
Imam Syafi'i, sepeninggalnya.beliau belajar fikih dari Imam Syafi'i dan
mengambil hadis darinya pula serta dari Abdullah bin Wahab dan dari yang
lainnya. Imam Syafi'i merupakan sandarannya dalam berfatwa serta pengaduannya
apabila diberikan satu masalah padanya.Beliau selalu menghidupkan malam dengan
membaca Alquran dan shalat serta selalu menggerakkan kedua bibirnya dengan
berdzikir kepada Allah.Beliau wafat pada tahun 231 H. di dalam penjara Baghdad,
karena tidak menyetujui paham Mu'tajilah yang merupakan paham resmi negara saat
itu, tentang kemakhlukan Alquran.Beliau menghimpun kitab al-fiqh, al-Mukhtaşar al-Kabīr, al-Mukhtaşar aş-Şagir dan al-Fara'id dalam aliran
Imam Syafi'i menjadi satu.
Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafi'i yang lain,
yaitu ar-Rabi' Ibn Sulaiman al-Marawi, 'Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu
Ibrahim, Yunus Ibn Abdul a'la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Obn Wazir
al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn
'Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn
Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Za'farani.
3. Keistimewaan
Imam Syafi`i.
Adapun
keistimewaan Imam Syafi’i, diantaranya yaitu[5]
:
a.
Keluasan ilmu
pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab, yang sejajar dengan al-Hakam bin
Abdul Muthalib, dimana Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Keturunan
(Bani) Hasyim dan keturunan (Bani) Muthalib itu hakekatnya adalah satu.” (H.R.
Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan
tentang wasiat, bab “Qismah al-Khumus”.
b.
Kekuatan
menghafal al-Qur`an dan kedalaman pemahaman antara yang wajib dan yang sunnah,
serta kecerdasan terhadap semua disiplin ilmu yang dia miliki, yang tidak semua
manusia dapat melakukannya.
c.
Kedalaman
ilmu tentang Sunnah, dia dapat membedakan antara Sunnah yang shahih dan yang
dha`if. Serta ketinggian ilmunya dalam bidang ushul fiqih, mursal, maushul,
serta perbedaan antara lafadl yang umum dan yang khusus.
d.
Imam Ahmad
bin Hambal berkata: Para ahli hadits yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tidak
diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan Imam Syafi`i. Dia adalah manusia
yang paling memahami kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. serta sangat
peduli terhadap hadits beliau.
e.
Dubaisan
(Namanya adalah Abu Dubais bin Ali al-Qashbani) berkata: Kami pernah bersama
Ahmad bin Hambal di Masjid Jami` yang berada di kota Baghdad, yang dibangun
oleh al-Manshur, lalu kami datang menemui Karabisy, lalu kami bertanya:
Bagaimana menurutmu tentang Syafi`i ? kemudian dia menjawab: Sebagaimana apa
yang kami katakan bahwa dia memulai dengan Kitab (al-Qur`an), Sunnah, serta
ijma` para ulama`. Kami orang-orang terdahulu sebelum dia tidak mengetahui apa
itu al-Qur`an dan Sunnah, sehingga kami mendengar dari Imam Syafii tentang apa
itu al-Qur`an Sunnah dan ijma`. Humaidi berkata: Suatu ketika kami ingin
mengadakan perdebatan dengan kelompok rasionalis kami tidak mengetahui
bagaimana cara mengalahkannya. Kemudian Imam Syafi`i datang kepada kami,
sehingga kami dapat memenangkan perdebatan itu. Imam Ahmad bin Hambal berkata:
Kami tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandapai dalam bidang fiqih
(faqih) terhadap al-Qur`an daripada pemuda quraisy ini, dia adalah Muhammad bin
Idris al-Syafi`i.
f.
Rabi`
berkata: Kami pernah duduk bersama di Majelisnya Imam Syafi`i setelah beliau
meninggal dunia di Basir, tiba-tiba datang kepada kami orang A`rabi (badui).
Dia mengucapkan salam, lalu bertanya: Dimanakah bulan dan matahari maelis ini ?
lalu kami mejawab: Dia telah wafat. Kemudian dia menangis lalu berkata: Semoga
Allah swt. mencurahkan rahmat dan mengampuni semua dosanya. Sungguh beliau
telah membuka hujjah yang selama ini tertutup, telah merubah wajah orang-orang
yang ingkar dan juga telah membuka kedok mereka, dan juga telah membuka pintu
kebodohan disertai penjelasannya, lalu tidak beberapa lama orang badui itu
pergi.
B. Sumber Hukum
Dalam Madzhab Imam Syafi’i.
Sumber hukum
syari’ay dalam Madzhab Syafi’I ada 4, yaitu[6]
:
1.
Kitab suci
Al-Qur’an
2.
Hadits-hadits
atau Sunnah Nabi
3.
Ijma’
4.
Qiyas
Imam Syafi’I
berkata dalam kitab Ar-Risalah :
ليس
لأحد أبدا أن يقول في شيئ حلّ ولا حرام إلا من جهة العلم الخبر في الكتاب والسنة
والإجماع أو القياس، الرسالة ص 39
Artinya :
Tidak boleh seseorang mengatakan halal atau haram tentang sesuatu kecuali
terdapat pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu ialah dari kitab suci, Sunnah
Rasul, Ijma’ dan Qiyas.
Dan
dalam menerangkan dasar-dasar madzhab, Imam Syafi’i berkata :
الأصل
قرآن و سنة فان لم يكن فقياس عليهما. واذااتصل الحديث عن رسول الله وصح الاسناد فهو
سنة . والإجماع اكبر من الخبر المنفرد. والحديث على ظاهره . واذااحتمل معانى فما
اشبها منها ظاهره او لا ها. واذا تكا فأت الاحاديث فأصحها اسنادا او لاها، وليس
المنقطع بشيئ ما عدا منقطع ابن المسيب. ولا يقاس اصل على اصل، ولا يقال للاصل لم
وكيف. وانما يقال للفروع لم؟ فاذا صح قياسه على الاصل صح وقامت به حجة.
Artinya : yang menjadi pokok adalah Qur’an dan
Sunnah. Kalau tidak ada dalam Qur’an dan Sunnah barulah melakukan Qiyas pada
keduanya.Kalau sebuah hadits dari Rasulullah sudah shahih sanadnya, maka itulah
Sunnah.Ijma’ lebih besar dari kabar seseorang.Hadits-hadots itu diartikan
menurut dzahir lafadznya, tetapi kalau artinya banyak maka yang dekat pada yang
dzahir itu yang pantas.Kalau bersamaan banyak hadits maka yang paling shahih
sanadnya, itulah yang didahulukan.
Dapat disimpulkan
maksud perkataan beliau, yaitu :
1.
Sumber dasar
yang pertama yaitu al-Qur’an dan Hadits.
2.
Jika tidak
terdapat dalam Al-Qur’an maka boleh menggunakan Qiyas.
3.
Sumber hukum boleh menggunakan Ijma’
4.
Hadits-hadits
diartikan menurut dzahirnya , tetapi kalau banyak arti lafadznya maka dipakai
yang lebih dekat kepada dzahirnya.
5.
Jika banyak
hadits yang serupa, maka yang dipakai yaitu hadits yang paling shahih sanadnya.
6.
Hadits-hadits
munqathi’ tidak dipakai, kecuali hadits dari Said bin Musayyad.
7.
Asal samaasal
tidak diqiyaskan.
8.
Asal (Qur’an
dan Hadits) tidak boleh dipertanyakan lagi.
9.
Yang boleh
dipertanyakan hanyalah furu’.
10.
Jika Qiyas
sudah jelas maka boleh dijadikan dalil yang sah.
Berikut ini akan dijelaskan secara terperinci
sumber-sumber hukum menurut Imam Syafi’i, yaitu:
1.
Al-Qur’an.
Kitab
suci Al-Qur’an sebagai dimaklumi terbagi atas 30 juz, 114 surat, 6236 ayat dan
304. 740 huruf.Ayat yang mula-mula turun ialah “iqqra’” (bacalah) pada surat
“Al Qalam” dan yang penghabisan turunnya
ialah ayat “Al-Yauma” dalam surat Al-Maidah 4. Tanggal mula-mula turun pada 17
Ramadhan tahun 41 dari hari lahir nabi dan tanggal penghabisan turu pada hari
‘Arafah dalam Haji Wada’. Lamanya Al Qur’an turun dalam masa 22 tahun 2 bulan
dan 22 hari.[7]
Ayat –ayat Al-Qur’an dibagi dua, yang pertama
turun ketika nabi di mekkah yang dinamakan ayat MAKKI dan yang kedua turun di
Madinah yang dinamakan MADANI.Lamanya Nabi di mekkah 12 tahun 5 bulan dan 13
hari, sedang dimadinah 9 tahun 9 bulan dan 9 hari. 19/30% Quran diturunkan
dimekkah dan 11/30% diturunkan di madinah.Seperti dikatakan diatas bahwa qur’an
terbagi atas 114 surat, tetapi yang turun dimadinah hanya 28 surat, sedang
selebihnya turun ketika nabi di mekkah.
Isi
dari Al Qur’an itu banyak, diantaranya anjuran bertauhid, hukum-hukum syari’at Islam,
cara-cara beribadat, cara-cara pergaulan sesame manusia, pendidikan dan akhlak,
bermacam-macam ilmu pengetahuan, berbagai sejarah, soal-soal politik, sosial,
ekonomi dan lain-lain.
Al
Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah dalam bahasa arab yang murni,yang
tidak tercampur dengan bahasa yang lain. Dan mengharuskan kepada kita untuk
belajar bahasa arab, sehingga dapat mengucapkan Syahadah dengan bahasa arab,
membaba al Qur’an dan dzikir-dzikir yang harus diucapkan dalam bahasa arab
seperti: takbir, tahmid, dan lain-lain.
Al Qur’an menjadi sumber hukum dalam Madzhab syafi’I Rhl
karena Allah menyuruh mengikut apa yang termaktub dalam al Qur’an itu.
Firman
Allah :
و
اطيعواالله والرسول لعلكم ترحمون. العمران:132
Artinya:
“Dan ikutlah Allah dan rasul mudah-mudahan kamu mendapat rahmat tuhan”. (Ali
Imran:132).
Dan
lagi firman Allah :
قل اطيعواالله والرسول فأن تولو ا فأن
الله لا يحب الكافرين. آل عمران:32
Artinya:
“Katakanlah, (hai Muhammad) ikutlah Allah dan rasul!jika kamu tidak hendak
mengikut, maka Allah tidak mengasihi orang yang kafir itu”. (Ali Imran:32).
Dapat
diambil kesimpulan bahwa hukum-hukum dalam Madzhab Imam Syafi’I sebagian
besarnya berdasarkan Al-Qur’an di samping dasar-dasar yang lain yaitu Hadits,
Ijma’, Qiyas.
2.
Hadits atau
Sunnah Nabi.
Dasar
yang kedua dalam Madzhab Imam Syafi’I ialah hadits-hadits yang dalam hal ini
berkaitan dengan segala perkataan Nabi Muhammad Saw.Segala perbuatan beliau dan
segala apa yang beliau tetapkan atas apa yang terjadi. Dan inilah yang dijadikan
sumber hukum dalam Madzhab Imam Syafi’I ,Jadi kesimpulannya kita harus
mengikuti Sunnah Rasul karena ia dapat dijadikan sumber hukum.
Dari
Harmalah bin Yahya beliau berkata:
قاَلَ الشَّافِعِىُّ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ: كُلُّ ماَ قُلْتُ . فَكَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم خِلاَفَ قَولِ
مِمَّا يَصِحُّ. فَحَديثُ النَّبِيَّ اَولىَ وَلاَ
تُقَلَدُونىِ. اداب الشافعى صحيفة:67
Artinya: “Berkata
imam Syafi’I Rhl: Sekalian perkataan saya dan nabi Muhammad saw. Berlawanan
dengan itu dalam Hadits yang shahih, maka hadits nabi lebih utama untuk diikuti
dan janganlah taqlid kepada saya”. (Adabus syafi’i:67).
Maksud Imam syafi’iRhl.
Dengan perkataan ini ialah bahwa kalau terdapat perkataan beliau yang
berlawanan dengan hadits yang sahih maka tinggalkanlah perkataan beliau itu,
peganglah hadits dan janganlah mengikut perkataannya.[8]
Kalau berlawanan
dengan hadits yang shahih, janganlah ijtihadnya
diterima, tetapi kalau tidak berlawanan, terimalah. Itulah maksudnya.
Imam Syafi’i mengemukakan lima
dalil yang menandaskan hadist ahad sebagai hujjah, namun ia tidak
menempatkannya sejajar al Qur’an, atau hadist Mutawatir, karena al Qur’an dan
hadist Mutamatirlah yang qath’i tsubutnya, yang dikafirkan orang yang
mengingkarinya dan disuruh untuk bertaubat.
Syarat-syaratnya itu ialah:
1.Perwinya
kepercayaan, ia tidak menerima hadist dari orang yang tidak dipercaya.
2.Berakal,
memahami apa yang diriwayatkan
3.Dhabit,
kuat ingatannya
4.Mendengatkan
langsung dari perawinya
5.Tidak
menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist itu.
Sekalipun ucapan Imam Syafi’i yang
seolah-olah melarang orang taqlid kepadanya, maksudnya yaitu jika dalam
ijtihadnya terdapat sesuatu yang bertentangan dengan hadits.Jadi bukanlah
melarang taqlid kepada beliau dalam fatwa-fatwa dan ijtihad-ijtihad yang tidak
berlawanan dengan al-Qur’an dan Hadits Nabawi.
Pada masa Imam Syafi’i berijtihad,
yaitu tahun-yahun 195-204 H, hadits-hadits belum terkumpul dan belum tertulis, oleh karena itu sangatlah
susah bagi beliau untuk berijtihad. Akan tetapi, beliau dikenal sebagai seorang
imam mujtahid yang sangat mementingkan hadits-hadits untuk mencari dasar
ijtihadnya, sehingga beliau terkenal dengan julukan “ Nashirul Hadits” yaitu
orang yang menolong hadits.Dari Al-Qur’an dan hadits inilah Imam Syafi’I
mengambil hukum-hukum syari’at yang disebutkan dalam hukum fiqih.Dan ijtihad
itu dijalankan dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang nyata.Ijtihad
itu pada hakikatnya bukanlah mengadakan syari’at baru, akan tetapi menggali
syari’at tersebut dari isi kandungan Al-Qur’an dan melahirkan syari’at yang
pada hakikatnya ada secara tersirat di dalam Al-Qur’an.
Hadist yang berlawanan dzahirnya
satu sama lain supaya dikompromikan. Mengkompromikan itu adakalanya dengan
jalan menasakh, adakalanya dengan mentarjihkan salah satunya.
Mengenai kedudukan as Sunnah
beliau berkata;
Pertama,
menerangkan kemujmalan al Qur’an seperti menerangkan kemujmalan ayat sholat dan
ayat tentang puasa.
Kedua,
menerangkan ‘am al Qur’an yang dikehendaki ‘amdan
yang ‘am dikehendaki khash.
Ketiga,
menerangkan tambahan-tambahan dari fardlu-fardlu yang telah ditetapkan al
Qur’an.
Keempat,
mendatangkan hukum-hukum yang tidak ada dalam al Qur’an.
Kelima,
menerangkan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.[9]
3.
Ijma’
Sumber
hukum yang ketiga dalam madzhab Imam Syafi’I adalah ijma’.Ijma’ menurut bahasa
adalah ‘azm(tekad) untuk melakukan sesuatu dan bersikeras terhadapnya.Sedangkan
menurut ulama’ fiqih dan ulama ushul, Ijma’ berarti kesepakatan imam-imam
mujtahid yang ada dalam suatu masa tentang suatu hukum setelah wafatnya
Rasulullah.
Ijma’
merupakan sumber penerapan syari’at dan salah satu sumber hukum.Hal itu
didukung leh banyak nashdari Al-Qur’an dan Sunnah, yang tema-temanya dapat kita
ketahui dari kitab-kitab ushul fiqih yang beragam.
Ijma’
yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ sahabat dan menerima
ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima ijma’ sebagai hujjah maka
ijma’ harus disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia, asy Syafi’i
berpendirian ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang menjadi hujjah
Ijma’ yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ shahabat dan
menerima ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima ijma’ sebagai
hujjah maka ijma’ harus disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia, asy
Syafi’i berpendirian ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang menjadi
hujjah.
Ijma’ harus bersandar pada suatu dalil, karena pendapat
mengenai perkara syari’at tanpa diserta
dalil merupakan kesalahan, sedangkan umat Islam tidak bersepakat atas suatu
kesalahan sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits dari nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.Jadi, ijma’ para mujtahid harus bersumber dari
dalil agar umat tidak bersepakat atas kesalahan, karena masyarakat umum
mengikuti para mujtahid. Jika para mujtahid jatuh pada kesalahan
maka umat juga jatuh pada kesalahan, dan hal ini dinafikan oleh nash-nash
hadits nabawi.
Sandaran
atau dalil ijma’terkadang berupa nash al-qur’an dan as-sunnah. Dan bisa
berupa qiyas atau ‘urf atau jenis-jenis ijtihad lainnya.
4.
Qiyas
Qiyas
menurut bahasa berarti takdir (mengukur) dan musawah
(menyamakan). Qiyas menurut istilah ulama fiqih berarti menyamakan suatu
masalah yang hukumnya tidak disebutkan oleh nash secara tegas dengan masalah
yang dijelaskan hukumnya dalam sebuah nash karena persamaan kedua masalah dalam
hukum hal ‘illat hukum. Penyamaan ini disebut qiyas. Masalah yang
hukumnya disebutkan oleh nash disebut maqis ‘alaih (yang diqiasi) atau
ashl (pokok). Dan hukum yang disebutkan oleh nashdi dalam maqis ‘alaih (yang
diqiasi) itu disebut hukmul ashli (hukum pokok). Masalah yang tidak
dijelaskan hukumnya oleh nash dan hendak disamakan dengan maqis ‘alaih(yang
diqiasi) disebut far’(cabang) atau maqis (diqiaskan). Sedangkan
sebab atau alasan yang karenanya suatu hukum disyari’atkan itu disebut ‘illat.
Jika
didapati suatu masalah yang dijelaskan hukumannya oleh nashdan kita ketahui ‘illatnya.Kemudian
terjadi kasus yang hukumnya tidak ditegaskan oleh nash, namun ia memiliki
kesamaan dengan masalah pertama dalam soal ‘illat hukumnya, maka masalah
kedua dapat mengambil hukum masalah kedua.
C. Pemikiran Madzhab Imam Syafi’I
Imam syafi’I dianggap sebagai ulama pertama yang
menyusun kitab ushul fiqih.Ar-Risalah yang disusunnya dalam disiplin ilmu ini
dianggap sebagai karya pertama yang disampai kepada kita.Mengenai hal
ini.Hampir terjadi ijma’.
Dari Ar-Risalah al-Ushuliyah ini, dan dari apa
yang ditulisnya dalam kitab al-Umm, kita dapat melihat ushul (dasar-dasar) dan
metode ijtihatnya. beliau
berpegang pada alqur’an dan as-sunnah, dan menjadikan as-sunnah sebagai
penjelas bagi nash-nashnya, perinci (mufasshil) globalnya (mujmal),
pembatas (muqiyyid) kemutlakannya (mutlaq), pengkhusus (mukhashish)
keumumannya (’amm), meskipun berupa khabar ahad. beliau berpegang pada khabar ahad
selama perawinya tsiqah(terpercaya) dan ’adil. beliau tidak mensyaratkan kemasyhuran
pada khabar yang menyangkut hal-hal yang mejadi kebutuhan public,
sebagai mana dikatakan imam Abu Hanifah, seperti yang dikatakan dengan
perbuatan penduduk madinah seperti yang dikatakan imam malik. Imam Syafi’I
hanya mensyaratkan keshahihan sanad. Mengenai hadis mursal, beliau tidak menjadikannya sebagai
hujjah kecuali hadis mursal tokoh
tabi’in seperti sa’id bin Musayyib, asalkan terpenuhi syarat-syarat khusus.
Metode ini berbeda dengan madzhab Imam Abu Hanifah, Sufyan al-tsyauri, dan imam
malik yang berhujjah dengan hadits mursal dan mendudukannya setara
dengan hadits muttashil.
Setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, Imam syafi’I
berhujjah dengan ijma’, kemudian dengan pendapat sahabat dengan memilih
yang terdekat maknanya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika beliau tidak melihat kedekatan ini,
maka beliau
berpegang pada ucapan khulafa’ar Rasyidin
dan men-tarjih-nya (mengunggulkannya) atas pendapat sahabat lain.
Kemudian setelah itu beliau berhujjah dengan Qiyas.
Inilah prinsip-prinsip (ushul ) yang diterapkan imam syafi’I . Karena
itu, beliau
mengkritik argumentasi (istidlal) dengan ihtisan atau selainnya, dan
menilainya sebagai penetapan syari’at dengan hawa nafsu, sebagaimana beliau mengingkari argumentasi
(istidlal) dengan mushalih al-mursalahdan perbuatan penduduk Madinah.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu
Kaul Qadim dan Kaul Jadid.Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang
dikemukakan dan ditulis di Irak.Sedangkan Kaul Jadid adalah pendapat imam
Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada
ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl
al-ra’y. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat imam Syafi’i
dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani,
dan Abu Tsaur.
Setelah
tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di
sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada
umumnya sahabat imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang
dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu,
imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut Kaul Jadid.
Dengan demikian, Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu,
sedangkan Kaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.[10]
Beberapa
contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:
a.
Air yang terkena najis. Kaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua
kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air
mutanajjis selama air itu tidak berubah. Kaul Jadid: air yang sedikit dan
kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak
dikategorikan air mutanajjis apakah air itu berubah atau tidak.
b.
Zakat buah-buahan. Kaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan, walaupun
yang tidak tahan lama. Kaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat buah-buahan
yang tidak tahan lama.
c.
Membaca talbiyah dalam thawaf. Kaul Qadim: sunat hukumnya membaca talbiyah
dalam melakukan thawaf. Kaul Jadid: tidak sunat membaca talbiyah dalam
melakukan thawaf.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
singkat dalam makalah ini, maka penulis menyimpulkan bahwa Imam Syafi’i bernama
lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i, nasab
beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul Manaf. Imam
Syafi'i lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H. di Gaza. Tahun kelahiran
beliau tepat dengan tahun wafatnya imam Hanafi. Beliau berguru fikih pada
beberapa ulama di Jazirah Arab, baik di Baghdad, Mesir, Kufah, dan Madinah.
Beliau banyak melahirkan murid-murid yang secara langsung menyebarkan mazhab
Syafi’i di dunia ini seperti ar-Rabi' Ibn Sulaiman al-Marawi, 'Abdullah Ibn
Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul a'la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti,
Yahyah Ibn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn
Hanbal, Hasan Ibn 'Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi
serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Za'farani, Abu Ibrahim Ismail
Ibn Yahya al-Muzani al-Misri atau dikenal dengan nama al-Muzani, dan Abu Ya'qub
Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti.
Sumber
hukum yang digunakan dalam penetapan hukum dalam madzhab syafi’I yaitu
al-Qr’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas..
Berdasarkan uraian contoh-contoh produk istinbath imam Syafi’i, maka beliau
dapat dikategorikan sebagai ulama yang fundamentalis, sebab imam syafi’I sebagai
ulama masa permulaan pertumbuhan dari ilmu Ushul Fiqh dan Fikih. Pendapat imam Syafi’i sangat fleksibel seperti yang
dicontohkan beliau dalam Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas
Sirajuddin, 1994. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i. Jakarta Pustaka
Tarbiyah.
Suwaidan, Thoriq, 2011. Biografi Imam Syafi’I,
Jakarta : Zaman.
Al-Jamal, Muhammad Hasan, 2007, Hayāh al-Imāmah, diterjemahkan
oleh M. Khaled Muslih dan Imam Awaluddin dengan judul Biografi 10 Imam Besar,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
As-Sayis,
Muhammad Ali, 2003, Tārikh al-Fiqh
al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nurhadi Aga
dengan judul Sejarah Fikih Islam,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ash-Shidiqi, Teungku Muhammah Habsy, 1967.pokok-pokok
pegengan imam madzhab, Semarang Pustaka Rizki Putra.
Dahlan, Abdul Azis (et.al), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam,
artikel "Asy-Syafi'i", Imam", Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Mubarok,
Jaih, 2002. Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada
[1]Muhammad
Hasan al-Jamal.Hayāh al-Imāmah, diterjemahkan oleh M. Khaled Muslih dan
Imam Awaluddin dengan judul Biografi 10 Imam Besar, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2007, C. ke 3, h. 59-65. Lihat juga M. Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002, h. 203-4.
[2]Abdul
Azis Dahlan , Ensiklopedi Hukum Islam, artikel "Asy-Syafi'i",
Imam" Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Jilid 5, C. ke I, h. 1680
[3]M.
Hasan Al. Jamal, Hayāh, h. 84.
[4]Muhammad
Ali As-Sayis, Tārikh al-Fiqh al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nurhadi Aga
dengan judul Sejarah Fikih Islam,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, C. Ke I, h. 156-7.
[6]
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’I, Jakarta:
Pustaka TarbiyahC. 5 h. 119.
[7]ibid
h 121
[8]
Ibid h. 123
[9]Teungku
Muhammah Habsy ash-Shidiqi, pokok-pokok pegangan imam madzhab, Pustaka Rizki Putra
, Semarang,1967 hal. 247.
[10]Jaih
Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002,
h. 9-11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar