Rabu, 25 Maret 2015

Madzhab Imam Syafi'i

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah selalu kami panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang telah  senantiasa melimpahkan rahmat, ni’mat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami sebagai penulis sekaligus penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Madzhab Imam Syafi’i .
Shalawat serta Salam tetap dan selalu dilimpahkan kepada sang Revolusioner dunia sekaligus sebagai Khotamul Ambiya’ Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa nilai – nilai  ideologi keagamaan dan pemikiran – pemikiran yang benar dan kreatif sehingga menjadikan agama islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin (rahmat bagi semua alam).
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqih di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu dan Tarbiyah Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Selesainya makalah ini tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak, baik itu dari dosen pengajar  atau pun pihak-pihak lainnya yang turut membantu terselesaikannya makalah ini. Kami sebagai penyusun makalah ini mengucapkan banyak terima kasih karena mereka semualah sehingga kami mempunyai motivasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Penyusun berharap makalah ini dapat memberi manfaat dan gambaran atau pun menjadi referensi kita dalam mempelajari dan  mengetahui  tentang strategi pembelajaran  bahasa Arab tingkat dasar, menengah, dan atas. Dalam makalah ini penyusun menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala saran dan kritik guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami nantikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan pembaca pada umumnya.


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan pada uraian-uraian materi makalah sebelumnya yang telah kita pelajari, telah kita ketahui tentang sumber-sumber hukum Islam  baik dari al Qur’an, as Sunah maupun sumber-sumber lainya seperti ijma’, Qiyas, ijtihad, dan lain-lainya. Namun pada zaman ini ijtihad sangat diperlukan mengingat problem-problem yang semakin komplek yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam yang bersifat amaliah, sedangkan al-Qur’an sebagai pedoman utama ajaran Islam tidak menjelaskan semua permasalahan secara eksplisit, melainkan harus digali secara mendalam untuk mendapatkan  hukum-hukum yang terperinci, oleh karena itu dibutuhkanlah ijtihad.
Dalam ilmu ushul fiqh dikenal para ulama-ulama yang berjtihad  dalam merumuskan hukum-hukum fiqh diantaranya adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal. Dan untuk mengetahui sumber pengambilan hukum yang digunakan para imam madzhab, khususnya Imam Syafi’I, maka dalam makalah ini akan dikaji berbagai hal yang berkaitan dengan madzhab Syafi’i.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah riwayat hidup Imam Syafi’i?
2. Apa sumber-sumber hukum yang digunakan dalam Madzhab Imam Syafi’i?
3. Bagaimana Pemikiran Madzhab Imam Syafi’i dalam Fiqih?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui riwayat hidup Imam Syafi’i.
2. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum yang digunakan dalam Madzhab Imam          
    Syafi’i.
3. Untuk mengetahui Pemikiran Madzhab Imam Syafi’i dalam Fiqih.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Madzhab Imam Syafi’i dalam Fiqih
1.    Riwayat Hidup
Beliau bernama Abu Abdillah Muhammad bin Idris  bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul Manaf. Dia dilahirkan pada tahun 150 H. bertepatan dengan dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Dia dilahirkan di desa Ghazzah, Asqalan. Ketika usianya mencapai dua tahun, ibunya mengajak pindah ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Lalu keduanya menetap di sana. Akan tetapi saat usianya telah mencapai sepuluh tahun, ibunya mengajak pindah ke Makkah lantaran khawatir akan melupakan nasabnya.
Imam Syafi`i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, pada waktu dia diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak memperoleh upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Akan tetapi setiap kali seorang guru mengajarkan sesuatu pada murid-murid, terlihat Syafi`i kecil denga ketajaman akal pikiran yang dimilikinya mampu menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi`i kecil mengajarkan kembali apa yang dia dengar dan dia pahami kepada anak-anak yang lain, sehingga dai apa yang dilakukan Syafi`i kecil ini mendapatkan upah. Sesudah usianya menginjak ke tujuh, Syafi`i telah berhasil menghafal al-Qur`an dengan baik.
Imam Syafi`i bercerita: “Saat kami menghatamkan al-Qur`an dan memasuki masjid, kami duduk di majlis para ulama. Kami berhasil menghafal beberapa hadits dan beberapa masalah Fiqih. Pada waktu itu, rumah kami berada di Makkah. Kondisi kehidupan kami sangat miskin, dimana kami tidak memiliki uang untuk membeli kertas, akan tetapi kami mengambil tulang-tulang sehingga dapat kami gunakan untuk menulisnya". Imam Syafi'i amat gemar mengembara, khususnya bertujuan menuntut ilmu.[1]
Beliau pindah ke Madinah untuk belajar fikih kepada Imam Malik, pada usia dua puluh tahun sampai Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. pada tahun 184 H, Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Imam Syafi'i didatangkan ke Baghdad bersama sembilan orang lainnya atas tuduhan menggulingkan pemerintahan. Namun beliau dapat lepas dari tuduhan itu atas bantuan Muhammad Ibn al-Hasan Al-Syaibani, murid dan teman Imam Hanafi, yang kemudian hari menjadi guru beliau.[2]
Tak lama berada di Baghdad, Imam Syafi'i  kembali ke Mekkah al-Mukarramah, dengan membawa ilmu ahl ra'yu, yang dia peroleh dari Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, yang bersinergi dengan ilmu ahl Hijaz, yang diperoleh dari Imam Malik. Pada tahun 195 H, beliau kembali ke Baghdad yang bertujuan untuk berdiskusi tentang fikih.Tidak lama di Baghdad, beliau melanjutkan perjalanan ke Mesir dan tiba di Mesir pada bulan Syawal tahun 199 H. tak lama setelah tinggal di Mesir, tepatnya tahun 2004 204 H wafat.Sebelum beliau wafat menderita penyakit wasir yang parah, hingga terkadang jika naik kuda, darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaos kakinya.Beliau rela menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir. Selain itu, beliau terus mengajar, meneliti, dialog serta mengkaji baik siang maupun malam.[3]
2.        Guru-Guru Imam Syafi'i
Imam Syafi'i merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl ra'yu dan ahl hadis (Kufah dan Madinah), di Kufah Imam Syafi'i menimba ilmu kepada Muhammad Ibn al-Hasan al Syaibani yang merupakan murid sekaligus sahabat dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah, beliau belajar kepada Imam Malik, beliau (Imam Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu, beliau juga berguru kepada ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi'i yaitu :
1)      Mutharaf Ibn Mazim
2)      Hisyam Ibn Yusuf
3)      'Umar Ibn Abi Salamah
4)      Yahya Ibn Hasan
Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi'i belajar kepada beberapa ulama antara lain:
1)      Sufyan Ibn 'Uyainah
2)      Muslim Ibn Khalid al-Zauji
3)      Sa'id Ibn Salim al-Kaddah
4)      Daud Ibn 'Abdurrahman al-'Aththar
5)      'Abdul Hamid 'Abdul aziz Ibn Muhammad ad-Dahrawardi
6)      Ibrahim Ibn Abi Sa'id Ibn Abi Fudaik
7)      'Abdullah Ibn Nafi'.
Selain dua fikih di atas (aliran ra'yu dan hadis), Imam Syafi'i juga belajar fikih aliran al-Auza'i dari 'Umar Ibn Abi Salamah dan fikih al-Laits dari Yahya Ibn Hasan.
c.       Murid-Murid Imam Syafi'i
Imam Syafi'i mempunyai banyak murid alam meneruskan kajian fikih dalam alirannya. Yang paling berperan dalam pengembangan aliran fikih Imam Syafi'i ini antara lain[4] :
1)      Al-Muzani
Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri yang lahir pada tahun 185 H serta menjadi besar dalam menuntut ilmu dan periwayatan hadis. Saat Imam Syafi'i datang ke Mesir pada tahun 1994, al-Muzani  menemuinya dan belajar fikih kepadanya. Al-Muzani dianggap orang yang paling pandai, serdas serta yang paling banyak menyusun kitab untuk mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264  adapun kitab karangan beliau antara lain al-Jami' al-Kabīr, al-Jami' aş-Şagir, serta yang terkenal al-Mukhtaşar aş-Şagir.
2)      Al-Buwaiti
Nama beliau adalah Abu Ya'qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti, yang berasal dari Bani Buwait kampung di Tanah Tinggi  Mesir. Beliau adalah murid sekaligus sahabat Imam Syafi'i yang tertua  bekebangsaan Mesir dan pengganti atau penerus Imam Syafi'i, sepeninggalnya.beliau belajar fikih dari Imam Syafi'i dan mengambil hadis darinya pula serta dari Abdullah bin Wahab dan dari yang lainnya. Imam Syafi'i merupakan sandarannya dalam berfatwa serta pengaduannya apabila diberikan satu masalah padanya.Beliau selalu menghidupkan malam dengan membaca Alquran dan shalat serta selalu menggerakkan kedua bibirnya dengan berdzikir kepada Allah.Beliau wafat pada tahun 231 H. di dalam penjara Baghdad, karena tidak menyetujui paham Mu'tajilah yang merupakan paham resmi negara saat itu, tentang kemakhlukan Alquran.Beliau menghimpun kitab al-fiqh, al-Mukhtaşar al-Kabīr, al-Mukhtaşar aş-Şagir dan al-Fara'id dalam aliran Imam Syafi'i menjadi satu.
Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafi'i yang lain, yaitu ar-Rabi' Ibn Sulaiman al-Marawi, 'Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul a'la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Obn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn 'Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Za'farani.
3.      Keistimewaan Imam Syafi`i.
Adapun keistimewaan Imam Syafi’i, diantaranya yaitu[5] :
a.    Keluasan ilmu pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab, yang sejajar dengan al-Hakam bin Abdul Muthalib, dimana Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Keturunan (Bani) Hasyim dan keturunan (Bani) Muthalib itu hakekatnya adalah satu.” (H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan   tentang wasiat, bab “Qismah al-Khumus”.
b.   Kekuatan menghafal al-Qur`an dan kedalaman pemahaman antara yang wajib dan yang sunnah, serta kecerdasan terhadap semua disiplin ilmu yang dia miliki, yang tidak semua manusia dapat melakukannya.
c.    Kedalaman ilmu tentang Sunnah, dia dapat membedakan antara Sunnah yang shahih dan yang dha`if. Serta ketinggian ilmunya dalam bidang ushul fiqih, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadl yang umum dan yang khusus.
d.   Imam Ahmad bin Hambal berkata: Para ahli hadits yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan Imam Syafi`i. Dia adalah manusia yang paling memahami kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. serta sangat peduli terhadap hadits beliau.
e.    Dubaisan (Namanya adalah Abu Dubais bin Ali al-Qashbani) berkata: Kami pernah bersama Ahmad bin Hambal di Masjid Jami` yang berada di kota Baghdad, yang dibangun oleh al-Manshur, lalu kami datang menemui Karabisy, lalu kami bertanya: Bagaimana menurutmu tentang Syafi`i ? kemudian dia menjawab: Sebagaimana apa yang kami katakan bahwa dia memulai dengan Kitab (al-Qur`an), Sunnah, serta ijma` para ulama`. Kami orang-orang terdahulu sebelum dia tidak mengetahui apa itu al-Qur`an dan Sunnah, sehingga kami mendengar dari Imam Syafii tentang apa itu al-Qur`an Sunnah dan ijma`. Humaidi berkata: Suatu ketika kami ingin mengadakan perdebatan dengan kelompok rasionalis kami tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkannya. Kemudian Imam Syafi`i datang kepada kami, sehingga kami dapat memenangkan perdebatan itu. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Kami tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandapai dalam bidang fiqih (faqih) terhadap al-Qur`an daripada pemuda quraisy ini, dia adalah Muhammad bin Idris al-Syafi`i.
f.    Rabi` berkata: Kami pernah duduk bersama di Majelisnya Imam Syafi`i setelah beliau meninggal dunia di Basir, tiba-tiba datang kepada kami orang A`rabi (badui). Dia mengucapkan salam, lalu bertanya: Dimanakah bulan dan matahari maelis ini ? lalu kami mejawab: Dia telah wafat. Kemudian dia menangis lalu berkata: Semoga Allah swt. mencurahkan rahmat dan mengampuni semua dosanya. Sungguh beliau telah membuka hujjah yang selama ini tertutup, telah merubah wajah orang-orang yang ingkar dan juga telah membuka kedok mereka, dan juga telah membuka pintu kebodohan disertai penjelasannya, lalu tidak beberapa lama orang badui itu pergi.

B. Sumber Hukum Dalam Madzhab Imam Syafi’i.
Sumber hukum syari’ay dalam Madzhab Syafi’I ada 4, yaitu[6] :
1.      Kitab suci Al-Qur’an
2.      Hadits-hadits atau Sunnah Nabi
3.      Ijma’
4.      Qiyas
Imam Syafi’I berkata dalam kitab Ar-Risalah :
ليس لأحد أبدا أن يقول في شيئ حلّ ولا حرام إلا من جهة العلم الخبر في الكتاب والسنة والإجماع أو القياس، الرسالة ص 39
Artinya : Tidak boleh seseorang mengatakan halal atau haram tentang sesuatu kecuali terdapat pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu ialah dari kitab suci, Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas.
            Dan dalam menerangkan dasar-dasar madzhab, Imam Syafi’i berkata :
الأصل قرآن و سنة فان لم يكن فقياس عليهما. واذااتصل الحديث عن رسول الله وصح الاسناد فهو سنة . والإجماع اكبر من الخبر المنفرد. والحديث على ظاهره . واذااحتمل معانى فما اشبها منها ظاهره او لا ها. واذا تكا فأت الاحاديث فأصحها اسنادا او لاها، وليس المنقطع بشيئ ما عدا منقطع ابن المسيب. ولا يقاس اصل على اصل، ولا يقال للاصل لم وكيف. وانما يقال للفروع لم؟ فاذا صح قياسه على الاصل صح وقامت به حجة.
Artinya : yang menjadi pokok adalah Qur’an dan Sunnah. Kalau tidak ada dalam Qur’an dan Sunnah barulah melakukan Qiyas pada keduanya.Kalau sebuah hadits dari Rasulullah sudah shahih sanadnya, maka itulah Sunnah.Ijma’ lebih besar dari kabar seseorang.Hadits-hadots itu diartikan menurut dzahir lafadznya, tetapi kalau artinya banyak maka yang dekat pada yang dzahir itu yang pantas.Kalau bersamaan banyak hadits maka yang paling shahih sanadnya, itulah yang didahulukan.
Dapat disimpulkan maksud perkataan beliau, yaitu :
1.      Sumber dasar yang pertama yaitu al-Qur’an dan Hadits.
2.      Jika tidak terdapat dalam Al-Qur’an maka boleh menggunakan Qiyas.
3.      Sumber hukum boleh menggunakan Ijma’
4.      Hadits-hadits diartikan menurut dzahirnya , tetapi kalau banyak arti lafadznya maka dipakai yang lebih dekat kepada dzahirnya.
5.      Jika banyak hadits yang serupa, maka yang dipakai yaitu hadits yang paling shahih sanadnya.
6.      Hadits-hadits munqathi’ tidak dipakai, kecuali hadits dari Said bin Musayyad.
7.      Asal samaasal tidak diqiyaskan.
8.      Asal (Qur’an dan Hadits) tidak boleh dipertanyakan lagi.
9.      Yang boleh dipertanyakan hanyalah furu’.
10.  Jika Qiyas sudah jelas maka boleh dijadikan dalil yang sah.

Berikut ini akan dijelaskan secara terperinci sumber-sumber hukum menurut Imam Syafi’i, yaitu:
1.      Al-Qur’an.
Kitab suci Al-Qur’an sebagai dimaklumi terbagi atas 30 juz, 114 surat, 6236 ayat dan 304. 740 huruf.Ayat yang mula-mula turun ialah “iqqra’” (bacalah) pada surat “Al Qalam” dan yang  penghabisan turunnya ialah ayat “Al-Yauma” dalam surat Al-Maidah 4. Tanggal mula-mula turun pada 17 Ramadhan tahun 41 dari hari lahir nabi dan tanggal penghabisan turu pada hari ‘Arafah dalam Haji Wada’. Lamanya Al Qur’an turun dalam masa 22 tahun 2 bulan dan 22 hari.[7]
Ayat –ayat Al-Qur’an dibagi dua, yang pertama turun ketika nabi di mekkah yang dinamakan ayat MAKKI dan yang kedua turun di Madinah yang dinamakan MADANI.Lamanya Nabi di mekkah 12 tahun 5 bulan dan 13 hari, sedang dimadinah 9 tahun 9 bulan dan 9 hari. 19/30% Quran diturunkan dimekkah dan 11/30% diturunkan di madinah.Seperti dikatakan diatas bahwa qur’an terbagi atas 114 surat, tetapi yang turun dimadinah hanya 28 surat, sedang selebihnya turun ketika nabi di mekkah.
Isi dari Al Qur’an itu banyak, diantaranya anjuran bertauhid, hukum-hukum syari’at Islam, cara-cara beribadat, cara-cara pergaulan sesame manusia, pendidikan dan akhlak, bermacam-macam ilmu pengetahuan, berbagai sejarah, soal-soal politik, sosial, ekonomi dan lain-lain.
Al Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah dalam bahasa arab yang murni,yang tidak tercampur dengan bahasa yang lain. Dan mengharuskan kepada kita untuk belajar bahasa arab, sehingga dapat mengucapkan Syahadah dengan bahasa arab, membaba al Qur’an dan dzikir-dzikir yang harus diucapkan dalam bahasa arab seperti: takbir, tahmid, dan lain-lain.
Al Qur’an menjadi sumber hukum dalam Madzhab syafi’I Rhl karena Allah menyuruh mengikut apa yang termaktub dalam al Qur’an itu.
Firman Allah :
و اطيعواالله والرسول لعلكم ترحمون. العمران:132
Artinya: “Dan ikutlah Allah dan rasul mudah-mudahan kamu mendapat rahmat tuhan”. (Ali Imran:132).
Dan lagi firman Allah :
قل اطيعواالله والرسول فأن تولو ا فأن الله لا يحب الكافرين. آل عمران:32
Artinya: “Katakanlah, (hai Muhammad) ikutlah Allah dan rasul!jika kamu tidak hendak mengikut, maka Allah tidak mengasihi orang yang kafir itu”. (Ali Imran:32).
Dapat diambil kesimpulan bahwa hukum-hukum dalam Madzhab Imam Syafi’I sebagian besarnya berdasarkan Al-Qur’an di samping dasar-dasar yang lain yaitu Hadits, Ijma’, Qiyas.
                                                            
2.      Hadits atau Sunnah Nabi.
Dasar yang kedua dalam Madzhab Imam Syafi’I ialah hadits-hadits yang dalam hal ini berkaitan dengan segala perkataan Nabi Muhammad Saw.Segala perbuatan beliau dan segala apa yang beliau tetapkan atas apa yang terjadi. Dan inilah yang dijadikan sumber hukum dalam Madzhab Imam Syafi’I ,Jadi kesimpulannya kita harus mengikuti Sunnah Rasul karena ia dapat dijadikan sumber hukum.

Dari Harmalah bin Yahya beliau berkata:
قاَلَ الشَّافِعِىُّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ: كُلُّ ماَ قُلْتُ . فَكَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم خِلاَفَ قَولِ مِمَّا يَصِحُّ. فَحَديثُ النَّبِيَّ اَولىَ       وَلاَ تُقَلَدُونىِ. اداب الشافعى صحيفة:67
Artinya: “Berkata imam Syafi’I Rhl: Sekalian perkataan saya dan nabi Muhammad saw. Berlawanan dengan itu dalam Hadits yang shahih, maka hadits nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah taqlid kepada saya”. (Adabus syafi’i:67).
Maksud Imam syafi’iRhl. Dengan perkataan ini ialah bahwa kalau terdapat perkataan beliau yang berlawanan dengan hadits yang sahih maka tinggalkanlah perkataan beliau itu, peganglah hadits dan janganlah mengikut perkataannya.[8]
Kalau berlawanan dengan hadits  yang shahih, janganlah ijtihadnya diterima, tetapi kalau tidak berlawanan, terimalah. Itulah maksudnya.
Imam Syafi’i mengemukakan lima dalil yang menandaskan hadist ahad sebagai hujjah, namun ia tidak menempatkannya sejajar al Qur’an, atau hadist Mutawatir, karena al Qur’an dan hadist Mutamatirlah yang qath’i tsubutnya, yang dikafirkan orang yang mengingkarinya dan disuruh untuk bertaubat.
Syarat-syaratnya itu ialah:
1.Perwinya kepercayaan, ia tidak menerima hadist dari orang yang tidak dipercaya.
2.Berakal, memahami apa yang diriwayatkan
3.Dhabit, kuat ingatannya
4.Mendengatkan langsung dari perawinya
5.Tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist itu.
Sekalipun ucapan Imam Syafi’i yang seolah-olah melarang orang taqlid kepadanya, maksudnya yaitu jika dalam ijtihadnya terdapat sesuatu yang bertentangan dengan hadits.Jadi bukanlah melarang taqlid kepada beliau dalam fatwa-fatwa dan ijtihad-ijtihad yang tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan Hadits Nabawi.
Pada masa Imam Syafi’i berijtihad, yaitu tahun-yahun 195-204 H, hadits-hadits belum terkumpul  dan belum tertulis, oleh karena itu sangatlah susah bagi beliau untuk berijtihad. Akan tetapi, beliau dikenal sebagai seorang imam mujtahid yang sangat mementingkan hadits-hadits untuk mencari dasar ijtihadnya, sehingga beliau terkenal dengan julukan “ Nashirul Hadits” yaitu orang yang menolong hadits.Dari Al-Qur’an dan hadits inilah Imam Syafi’I mengambil hukum-hukum syari’at yang disebutkan dalam hukum fiqih.Dan ijtihad itu dijalankan dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang nyata.Ijtihad itu pada hakikatnya bukanlah mengadakan syari’at baru, akan tetapi menggali syari’at tersebut dari isi kandungan Al-Qur’an dan melahirkan syari’at yang pada hakikatnya ada secara tersirat di dalam Al-Qur’an.
Hadist yang berlawanan dzahirnya satu sama lain supaya dikompromikan. Mengkompromikan itu adakalanya dengan jalan menasakh, adakalanya dengan mentarjihkan salah satunya.
Mengenai kedudukan as Sunnah beliau berkata;
Pertama, menerangkan kemujmalan al Qur’an seperti menerangkan kemujmalan ayat sholat dan ayat tentang puasa.
Kedua, menerangkan ‘am al Qur’an yang dikehendaki ‘amdan yang ‘am dikehendaki khash.
Ketiga, menerangkan tambahan-tambahan dari fardlu-fardlu yang telah ditetapkan al Qur’an.
Keempat, mendatangkan hukum-hukum yang tidak ada dalam al Qur’an.
Kelima, menerangkan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.[9]
3.      Ijma’
Sumber hukum yang ketiga dalam madzhab Imam Syafi’I adalah ijma’.Ijma’ menurut bahasa adalah ‘azm(tekad) untuk melakukan sesuatu dan bersikeras terhadapnya.Sedangkan menurut ulama’ fiqih dan ulama ushul, Ijma’ berarti kesepakatan imam-imam mujtahid yang ada dalam suatu masa tentang suatu hukum setelah wafatnya Rasulullah.
Ijma’ merupakan sumber penerapan syari’at dan salah satu sumber hukum.Hal itu didukung leh banyak nashdari Al-Qur’an dan Sunnah, yang tema-temanya dapat kita ketahui dari kitab-kitab ushul fiqih yang beragam.
Ijma’ yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ sahabat dan menerima ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima ijma’ sebagai hujjah maka ijma’ harus disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia, asy Syafi’i berpendirian ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang menjadi hujjah Ijma’ yang mula-mula mendapat i’tibar dari as Syafi’i ialah ijma’ shahabat dan menerima ijma’ ditempat tidak ada nash. Karena beliau menerima ijma’ sebagai hujjah maka ijma’ harus disepakati oleh semua ulama diseluruh dunia, asy Syafi’i berpendirian ijma’ ulama madinah tidak merupakan ijma’ yang menjadi hujjah.
Ijma’ harus bersandar pada suatu dalil, karena pendapat mengenai perkara syari’at  tanpa diserta dalil merupakan kesalahan, sedangkan umat Islam tidak bersepakat atas suatu kesalahan sebagaimana dijelaskan dalam banyak hadits dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Jadi, ijma’ para mujtahid harus bersumber dari dalil agar umat tidak bersepakat atas kesalahan, karena masyarakat umum mengikuti para mujtahid. Jika para mujtahid jatuh pada kesalahan maka umat juga jatuh pada kesalahan, dan hal ini dinafikan oleh nash-nash hadits nabawi.
Sandaran atau dalil ijma’terkadang berupa nash al-qur’an dan as-sunnah. Dan bisa berupa qiyas atau ‘urf atau jenis-jenis ijtihad lainnya.
4.      Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti takdir (mengukur) dan musawah (menyamakan). Qiyas menurut istilah ulama fiqih berarti menyamakan suatu masalah yang hukumnya tidak disebutkan oleh nash secara tegas dengan masalah yang dijelaskan hukumnya dalam sebuah nash karena persamaan kedua masalah dalam hukum hal ‘illat hukum. Penyamaan ini disebut qiyas. Masalah yang hukumnya disebutkan oleh nash disebut maqis ‘alaih (yang diqiasi) atau ashl (pokok). Dan hukum yang disebutkan oleh nashdi dalam maqis ‘alaih (yang diqiasi) itu disebut hukmul ashli (hukum pokok). Masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash dan hendak disamakan dengan maqis ‘alaih(yang diqiasi) disebut far’(cabang) atau maqis (diqiaskan). Sedangkan sebab atau alasan yang karenanya suatu hukum disyari’atkan itu disebut ‘illat.
Jika didapati suatu masalah yang dijelaskan hukumannya oleh nashdan kita ketahui ‘illatnya.Kemudian terjadi kasus yang hukumnya tidak ditegaskan oleh nash, namun ia memiliki kesamaan dengan masalah pertama dalam soal ‘illat hukumnya, maka masalah kedua dapat mengambil hukum masalah kedua.

C. Pemikiran Madzhab Imam Syafi’I
Imam syafi’I dianggap sebagai ulama pertama yang menyusun kitab ushul fiqih.Ar-Risalah yang disusunnya dalam disiplin ilmu ini dianggap sebagai karya pertama yang disampai kepada kita.Mengenai hal ini.Hampir terjadi ijma.
Dari Ar-Risalah al-Ushuliyah ini, dan dari apa yang ditulisnya dalam kitab al-Umm, kita dapat melihat ushul (dasar-dasar) dan metode ijtihatnya. beliau berpegang pada alqur’an dan as-sunnah, dan menjadikan as-sunnah sebagai penjelas bagi nash-nashnya, perinci (mufasshil) globalnya (mujmal), pembatas (muqiyyid) kemutlakannya (mutlaq), pengkhusus (mukhashish) keumumannya (’amm), meskipun berupa khabar ahad. beliau berpegang pada khabar ahad selama perawinya tsiqah(terpercaya) dan ’adil. beliau tidak mensyaratkan kemasyhuran pada khabar yang menyangkut hal-hal yang mejadi kebutuhan public, sebagai mana dikatakan imam Abu Hanifah, seperti yang dikatakan dengan perbuatan penduduk madinah seperti yang dikatakan imam malik. Imam Syafi’I hanya mensyaratkan keshahihan sanad. Mengenai hadis mursal, beliau tidak menjadikannya sebagai hujjah kecuali hadis mursal  tokoh tabi’in seperti sa’id bin Musayyib, asalkan terpenuhi syarat-syarat khusus. Metode ini berbeda dengan madzhab Imam Abu Hanifah, Sufyan al-tsyauri, dan imam malik yang berhujjah dengan hadits mursal dan mendudukannya setara dengan hadits muttashil.
Setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, Imam syafi’I berhujjah dengan ijma’, kemudian dengan pendapat sahabat dengan memilih yang terdekat maknanya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika beliau tidak melihat kedekatan ini, maka beliau berpegang pada ucapan khulafa’ar Rasyidin  dan men-tarjih-nya (mengunggulkannya) atas pendapat sahabat lain. Kemudian setelah itu beliau  berhujjah dengan Qiyas. Inilah prinsip-prinsip (ushul ) yang diterapkan imam syafi’I . Karena itu, beliau mengkritik argumentasi (istidlal) dengan ihtisan atau selainnya, dan menilainya sebagai penetapan syari’at dengan hawa nafsu, sebagaimana beliau mengingkari argumentasi (istidlal) dengan mushalih al-mursalahdan perbuatan penduduk Madinah.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Ulama membagi pendapat imam Syafi’i menjadi dua, yaitu Kaul Qadim dan Kaul Jadid.Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Irak.Sedangkan Kaul Jadid adalah pendapat imam Syafi’i yang dikemukakan dan ditulis di Mesir. Di Irak, beliau belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahl al-ra’y. Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Irak, imam Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir, dia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat imam Malik. Imam Malik adalah penerus fikih Madinah yang dikenal sebagai ahl al-hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut Kaul Jadid. Dengan demikian, Kaul Qadim adalah pendapat imam Syafi’i yang bercorak ra’yu, sedangkan Kaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak sunnah.[10]
Beberapa contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:
a.       Air yang terkena najis. Kaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis selama air itu tidak berubah. Kaul Jadid: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis apakah air itu berubah atau tidak.
b.      Zakat buah-buahan. Kaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan, walaupun yang tidak tahan lama. Kaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat buah-buahan yang tidak tahan lama.
c.       Membaca talbiyah dalam thawaf. Kaul Qadim: sunat hukumnya membaca talbiyah dalam melakukan thawaf. Kaul Jadid: tidak sunat membaca talbiyah dalam melakukan thawaf.


BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian singkat dalam makalah ini, maka penulis menyimpulkan bahwa Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi'i, nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdul Manaf. Imam Syafi'i lahir pada bulan Rajab pada tahun 150 H. di Gaza. Tahun kelahiran beliau tepat dengan tahun wafatnya imam Hanafi. Beliau berguru fikih pada beberapa ulama di Jazirah Arab, baik di Baghdad, Mesir, Kufah, dan Madinah. Beliau banyak melahirkan murid-murid yang secara langsung menyebarkan mazhab Syafi’i di dunia ini seperti ar-Rabi' Ibn Sulaiman al-Marawi, 'Abdullah Ibn Zubair al-Hamidi. Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul a'la as-Sadafi, Ahmad Ibn Sibti, Yahyah Ibn Wazir al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah at-Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn 'Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim Ibn Khalid Yamani al-Kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn Muhammad as-Sahab az-Za'farani, Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya al-Muzani al-Misri atau dikenal dengan nama al-Muzani, dan Abu Ya'qub Yusuf Ibn Yahya al-Buwaiti.
Sumber hukum yang digunakan dalam penetapan hukum dalam madzhab syafi’I yaitu al-Qr’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas..
     Berdasarkan uraian contoh-contoh produk istinbath imam Syafi’i, maka beliau dapat dikategorikan sebagai ulama yang fundamentalis, sebab imam syafi’I sebagai ulama masa permulaan pertumbuhan dari ilmu Ushul Fiqh dan Fikih. Pendapat imam Syafi’i sangat fleksibel seperti yang dicontohkan beliau dalam Qaul Qadim dan Qaul Jadid.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas Sirajuddin, 1994. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i. Jakarta Pustaka Tarbiyah.
Suwaidan, Thoriq, 2011. Biografi Imam Syafi’I, Jakarta : Zaman.
Al-Jamal, Muhammad Hasan, 2007, Hayāh al-Imāmah, diterjemahkan oleh M. Khaled Muslih dan Imam Awaluddin dengan judul Biografi 10 Imam Besar, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

As-Sayis, Muhammad Ali, 2003, Tārikh al-Fiqh al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nurhadi Aga dengan judul Sejarah  Fikih Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ash-Shidiqi, Teungku Muhammah Habsy, 1967.pokok-pokok pegengan imam madzhab, Semarang Pustaka Rizki Putra.
Dahlan, Abdul Azis (et.al), 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, artikel "Asy-Syafi'i", Imam", Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Mubarok, Jaih, 2002. Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada




[1]Muhammad Hasan al-Jamal.Hayāh al-Imāmah, diterjemahkan oleh M. Khaled Muslih dan Imam Awaluddin dengan judul Biografi 10 Imam Besar, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007, C. ke 3, h. 59-65. Lihat juga M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002, h. 203-4.

[2]Abdul Azis Dahlan , Ensiklopedi Hukum Islam, artikel "Asy-Syafi'i", Imam" Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Jilid 5, C. ke I, h. 1680
[3]M. Hasan Al. Jamal, Hayāh, h. 84.
[4]Muhammad Ali As-Sayis, Tārikh al-Fiqh al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nurhadi Aga dengan judul Sejarah  Fikih Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003, C. Ke I, h. 156-7.
5 Thoriq Suwaidan, Biografi Imam Syafi’I, Jakarta : Zaman, 2011, C 1, hal 106-107
[6] Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’I, Jakarta: Pustaka TarbiyahC. 5 h. 119.
[7]ibid h 121
[8] Ibid h. 123
[9]Teungku Muhammah Habsy ash-Shidiqi, pokok-pokok pegangan imam madzhab, Pustaka Rizki Putra , Semarang,1967 hal. 247.
[10]Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,  Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2002, h.  9-11.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar