Jumat, 27 Maret 2015

Hipotesis Stephen Krashen



1.      Hipotesis pemerolehan dan pembelajaran (The Acquisition – Learning hypothesis)
Krashen membedakan pemerolehan bahasa (language acquisition) dengan pembelajaran bahasa (language learning). Pemerolehan bahasa menurutnya merupakan proses seseorang secara tidak sadar dalam memperoleh bahasa kedua. Pemerolehan bahasa terjadi seperti seorang anak kecil yang memperoleh bahasa pertama, ia dengan tidak sadar mengetahui aturan-aturan maupun fitur-fitur bahasa karena ia hanya sadar jika ia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Menurut Krashen dalam pemerolehan bahasa ini, kita tidak selalu sadar tehadap aturan-aturan bahasa yang kita peroleh tetapi kita memiliki ’rasa’ untuk melakukan pembenaran (Krashen, 1982). Pemerolehan bahasa terjadi karena adanya interaksi secara natural dengan menggunakan bahasa kedua untuk berkomunikasi. 
Pembelajaran bahasa merupakan proses sadar seseorang dalam belajar bahasa. Lain halnya dengan proses pemerolehan bahasa, melalui pembelajaran bahasa seorang anak secara sadar mengetahui/mempelajari aturan-aturan maupun fitur-fitur bahasa. Proses pembelajaran ini diidentikan dengan proses pembelajaran bahasa yang dilakukan di kelas dimana fokusnya pada bentuk dan aturan dari bahasa target (Mitchell dan Myles, 2004).
Hipotesis pemerolehan dan pembelajaran bahasa ini mendapat kritik dari  Michell dan Myles (2004), menurut mereka definisi sadar (concious) dan tidak sadar (subconcious) yang diajukan oleh Krashen tidak jelas karena kita tidak dapat membedakan atau menentukan secara jelas bahwa produksi bahasa pemelajar merupakan hasil dari proses sadar atau tidak sadar.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran di kelas, pengajar semestinya sadar bahwa proses yang terjadi adalah proses pembelajaran bahasa (learning language)., terlebih dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahaasa asing di Indonesia dimana bahasa tersebut masih jarang digunakan di luar kelas. Sehingga dapat dikatakan aturan-aturan bahasa dipelajari secara sadar, namun dengan konsep pemerolehan bahasa (language acquisition) yang didasari oleh proses natural penggunaan bahasa untuk berkomunikasi, kita dapat menggunakan cara tersebut dengan menciptakan suasana belajar yang mendekati natural. Bahasa digunakan untuk berkomunikasi tanpa menitikberatkan pada aturan bahasa kemudian setelah berkomunikasi, pemelajar diarahkan untuk mengetahui aturan-aturan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi.
2.      Hipotesis Urutan Alami (The Natural Order Hypothesis)
Krashen mengatakan bahwa pemerolehan bahasa melalui urutan yang alami, beberapa aturan bahasa diperoleh lebih dulu daripada aturan bahasa yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Brown (dikutip dalam Krashen, 1982) terhadap pemerolehan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama pada anak menunjukkan bahwa anak-anak cenderung memeroleh morfem gramatikal tertentu atau fungsi kata dibandingkan dengan yang lain, contohnya pembentuk kata progresif (kata kerja +ing) pada “He is playing baseball” dan penanda bentuk jamak (penambahan s) pada “two dogs” merupakan bentuk morfem yang lebih dahulu diperoleh, sedangkan penanda orang ketiga (penambahan akhiran s pada kata kerja) pada “He lives in New York” dan bentuk posesif (penambahan ‘s pada subjek) seperti “John’s hat” diperoleh belakangan, setelah 6 bulan sampai satu tahun setelahnya.
Walaupun penelitian yang dilakukan oleh Brown berdasarkan proses pemerolehan pada bahasa pertama, namun menurut Dulay dan Burt (dikutip dalam Krashen, 1982), pemerolehan morfem gramatikal pada pemelajar bahasa inggris sebagai bahasa kedua juga menunjukkan adanya uturan alami. Hipotesis urutan alami ini mendapat kritik antara lain karena tidak semua pemelajar bahasa kedua mengadopsi urutan yang sama pada pemerolehan bahasa targetnya (McLaughlin,1987 dalam Zafar 2009). Selain itu hipotesis urutan alami Krashen hanya didasari pada morfem bahasa Inggris (Gass dan Selinker, 1994; McLaughlin, 1987 dalam Zafar 2009).
Dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa di kelas, hendaknya pengajar tidak mendasari pengajaran bahasa pada urutan tata bahasa. Bahkan Krashen (1982) menyarankan agar tidak mendasari penyusunan silabus pada urutan gramatikal seperti hasil penelitian Brown (mendahulukan bentuk progresif ’ing’ kemudian bentuk orang ketiga ’s’).
3.      Hipotesis Monitor (The Monitor Hypothesis)
Dalam hipotesis ini Krashen menyatakan bahwa pembelajaran (learning) dan pemerolehan bahasa (acquisition) digunakan dalam cara yang berbeda dalam perfomasi bahasa kedua. Dalam hipotesis ini fungsi pembelajaran hanya untuk mengontrol atau memperbaiki suatu ujaran bahasa. Sedangkan pemerolehan bahasa berfungsi sebagai inisator ujaran yang berpengaruh pada kelancaran berkomunikasi (Krashen, 1982). 
Pemelajar hanya dapat melakukan kontrol jika memenuhi 3 kondisi yaitu: (1) waktu. Adanya waktu yang cukup untuk melakukan kontrol. Namun dalam percakapan normal umumnya, waktu untuk melakukan kontrol tidaklah cukup, (2) fokus pada bentuk. Selain adanya waktu yang cukup untuk melakukan kontrol, pemelajar juga harus fokus pada bentuk maupun aturan bahasa yang benar, dan (3) mengetahui aturan. Selain kondisi 1 dan 2, pemelajar juga harus mengetahui aturan bahasa yang benar dalam mengontrol bahasanya sehingga menghasilkan bentuk bahasa yang benar.
Hipotesis ini mendapat kritik dari McLaughlin (1987) yang menyatakan bahwa kontrol yang berlebihan akan menghambat pemelajar dalam memproduksi ujaran. Pemelajar akan terfokus pada aturan-aturan sehingga dapat menimbulkan kecemasan akan memproduksi bahasa yang salah.
Dalam kaitannya dengan pengajaran di kelas, seorang pengajar hendaknya memberikan input yang cukup dan baik agar pemelajar dapat memprodiksi ujaran yang benar. Namun hal yang terpenting ialah, seorang pengajar jangan terlalu fokus dan mengharuskan pemelajar untuk memproduksi bentuk aturan yang benar khususnya pada kemampuan lisan dan pada pemelajar pemula atau anak-anak, untuk menghindari ketahukan pemelajar dalam memproduksi bahasa. Selain itu, pengajar juga sebaiknya mempertimbangkan kriteria dalam penilaian. Jika pengajar menginginkan fokus penilaian pada pemahaman terhadap struktur atau aturan-aturan bahasa, maka hendaknya ia menciptakan kondisi yang sesuai seperti yang telah disebutkan di atas.
4.      Hipotesis Input (The Input Hypothesis)
Dalam hipotesis ini Krashen mengajukan 3 hal penting yaitu (1) bahwa pemelajar memeroleh bahasa dengan memahami input yang berisi struktur yang sedikit diatas kemampuan pemelajar saat ini, yang dirumuskan dengan (i+1) dimana ‘i’ adalah kemampuan pemelajar saat ini. Memahami ‘input’ dalam hipotesis ini berarti pemahaman terhadap makna dari suatu ujaran (meaning).
Pemelajar tidak memeroleh struktur bahasa dalam pembelajaran pertama kali melainkan memahami makna suatu ujaran sehingga struktur dengan sendirinya diperoleh, (2) Krashen mengatakan bahwa kita tidak mengajarkan keterampilan berbicara, melainkan kita memberikan pemelajar input yang komprehensif (comprehensible input) dengan begitu maka ketrampilan berbicara akan diperoleh dengan sendirinya, dan (3) input yang terbaik bukanlah input yang terstruktur secara gramatikal namun jika pemelajar mengerti input yang diberikan maka sebaiknya pemelajar diberikan input i+1 (Krashen dalam Long dan Richard, 1987).
Hipotesis ini dikritik oleh Mitchell dan Myles (2004) yang mengatakan bahwa tidak jelas menentukan tingkat i  maka bagaimana caranya menentukan level i+1. Kritik terhadap input juga datang dari Swain yang mengatakan bahwa input saja tidaklah cukup untuk pemelajar agar dapat memiliki ketrampilan berbicara. Ia mengatakan bahwa memahami bahasa dan memproduksi bahasa adalah dua hal yang berbeda. Memproduksi bahasa tidak cukup hanya dengan diberikan input melainkan dengan mendorong pemelajar untuk memproduksi atau berlatih menggunakan bahasa target. Hipotesis dari Swain tersebut dikenal sebagai hipotesis ’Output’ (Swain: 1985 dalam Johnson: 2001).
Dalam pengajaran bahasa di kelas, hendaknya pengajar mengetahui kemampuan terkini pemelajar sehingga dapat memberikan input yang sesuai (i+1). Mengetahui kemapuan pemelajar dapat dengan cara melakukan tes pada awal pembelajaran. Selain itu, pemelajar juga harus diberikan kesampatan untuk menggunakan input yang telah diberikan melalui berbagai latihan karena kemampuan berbahasa seseorang dapat ditingkatkan melalui banyak latihan.
5.      Hipotesis Penyaringan Afeksi (The Affective Filter Hypothesis)
Hipotesis ini berkaitan dengan hipotesis input. Krashen berpendapat bahwa dengan memberikan input yang komprehensif saja tiak cukup, pemelajar juga harus membiarkan agar input tersebut dapat diterima dan dimengerti (Krashen dalam Mitchell dan Myles: 2004). Krashen berpendapat bahwa faktor afeksi dapat mempengaruhi penerimaan input serta pemerolehan bahasa kedua (Krashen, 1982). Variabel faktor-faktor afeksi terdiri dari 3 kategori yaitu: (1) Motivasi. Pemelajar dengan motivasi yang tinggi umumnya menunjukkan performa yang lebih baik diandingkan yang memiliki motivasi yang lemah, (2) percaya diri. Sama halnya dengan motivasi, pemelajar yang memiliki rasa percaya diri tinggi cenderung lebih baik dalam memeroleh bahasa kedua, dan (3) kecemasan. Pemelajar yang memiliki kecemasan yang tinggi akan menghambat proses pemerolehan input, sebaliknya pemelajar yang memiliki kecemasan yang rendah atau bahkan tidak memiliki kecemasan dengan mudah akan memeroleh input.
Kritik terhadap hipotesis ini datang dari Zafar (2009) yang tidak setuju dengan pendapat Krashen bahwa tidak ada saringan afeksi pada anak-anak. Zafar berpendapat bahwa anak-anak pun dapat terpengaruh oleh faktor personal seperti rasa tidak aman, kecemasan, dan kurang percaya diri. Terebih lagi jika orang dewasa memiliki saringan afeksi yang tinggi lalu mengapa ada orang dewasa yang memiliki kemampuan bahasa seperti penutur jati? McLaughlin juga tidak setuju dengan pendapat Krashen yang menyatakan bahwa pada masa pubertas saringan afeksi pemelajar sangat tinggi sehingga dapat menghalangi masuknya input, McLaughlin berpendapat sebaliknya bahwa pada masa pubertas, pemelajar memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi sehingga sikap terhadap input-inout yang diberikan pun berdampak positif.
Merujuk pada hipotesis ini, hendaknya pengajar dapat memberikan input yang komprehensif dan menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi pemelajar sehingga faktor-faktor yang dapat menghambat pemerolehan input atau bahasa kedua dapat dikurangi.

Rabu, 25 Maret 2015

Laporan Penelitian Anak Bermasalah

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah                                                            
              Permasalahan pada anak SD sangat penting untuk kita perhatikan karena mengingat adanya suatu kenyataan bahwa setiap orang dalam kehidupannya tidak pernah lepas dari permasalahan. Masalah yang sering dihadapi anak SD adalah anak sulit dalam bekerjasama dengan teman, sehingga dapat menimbulkan masalah terhadap proses pembelajaran. Kita sebagai pendidik harus bisa mengatasi perilaku bermasalah dan menggantinya dengan perilaku yang efektif dengan mengembangkan keterampilan yang khusus dan memelihara lingkungan belajar yang sehat, sehingga apa yang dicita-citakan anak dan pendidik dapat terwujud.                    Mendidik anak untuk bisa pintar mungkin bisa dilakukan oleh siapa saja. Tetapi mendidik anak untuk mempunyai emosi yang stabil, tidak semua orang bisa melakukannya. Dibutuhkan orang tua dan guru yang sabar, serius, ulet, serta mempunyai semangat dedikasi tinggi dalam memahami dinamika kepribadian anak. Perilaku siswa usia sekolah saat ini banyak dikeluhkan guru. Para guru mengeluh sikap anak-anak yang sangat sulit di atur (hiperaktif) emosinya di kelas. Terhadap kondisi siswa yang demikian, biasanya para guru sangat susah mengatur dan mendidiknya. Di samping karena keadaan dirinya yang sangat sulit untuk tenang, juga karena anak hiperaktif sering mengganggu orang lain, suka memotong pembicaran guru atau teman, dan mengalami kesulitan dalam memahami sesuatu yang diajarkan guru kepadanya. Selain itu juga, prestasi belajar anak hiperaktif juga tidak bisa maksimal dan pengajaran yang diberikan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kesulitan yang dimilikinya.

B.  Tujuan Penulisan
Kegiatan ini dilaksanakan dalam usaha menguasai pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam memberikan layanan siswa yang secara individual serta pembuatan laporan studi kasus. Pelaksanaan studi kasus merupakan  persyaratan dalam mengikuti mata kuliah Studi Kasus. Kegiatan studi kasus relatif sama dengan kegiatan siswang yang sebenarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan kegiatan ini merupakan awal bagi calon dan untuk selanjutnya dapat memberikan gambaran bagaimana siswang sesungguhnya di lapangan.
Pada studi kasus ini diperlukan berbagai macam data, baik data pribadi maupun data tentang lingkungan (lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat) sebagai faktor yang turut mempengaruhi keberadaan siswa.
Meskipun  data ini merupakan sesuatu yang bersifat rahasia bagi siswa, namun tentunya tidak akan menimbulkan dampak negatif dan merugikan si siswa. Sebaliknya, siswa justru memperoleh sesuatu yang bersifat positif dan menguntungkan bagi dirinya guna memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, untuk menjaga keraasiaan data tentang siswa yang berupa penyamaran nama dan kesedian penulis untuk tidak memberitahukan pada orang lain. Hal ini  bermaksud untuk menjamin kerahasiaan masalah yang dialami oleh siswa yang bersangkutan.

C. Metode Penelitian
            Metode yang digunakan peneliti dalam menganalisis kasus yaitu dengan cara observasi dan wawancara langsung terhadap wali kelas siswa yang diteliti, dan dalam hal ini yaitu masalah anak hiperaktif yang kurang mampu dalam menerima pengajaran yang telah diberikan oleh guru. Kemudian akan dibahas langsungpada bab selanjutnya.


BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

A.   Analisis ( Pengumpulan Data )
1. Hasil Wawancara di SD Blumbungan II didapatkan anak yang bermasalah yaitu anak hiperaktif :
a. Identitas Anak
1.      Nama                                    : Ahmad Wahyu
2.      Tempat Tanggal Lahir          : Pamekasan, 30 Juli 2008
3.      Anak Ke                                : 2 dari 3 bersaudara  
4.      Nama Orang Tua                   : Ayah : Supriyatna
                                                          Ibu     : Khodijah
5.     Pekerjaan                               : Ayah : PNS
                                                         Ibu     : Ibu rumah tangga
6.      Alamat                                  : Jln Perjuangan gang 8 Rt 21
7.      Jenis-jenis Masalah               : -  Anak tidak memperhatikan pelajaran
                                                       -  Anak yang suka mengganggu teman
                                                       -  Anak berintelegensi rendah
2. Hasil Observasi        
          Dalam kegiatan belajar mengajar berlangsung anak tersebut selalu mengganggu proses belajar mengajar seperti ketika guru sedang menerangkan dia selalu ikut berbicara dan dia tidak memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru, tapi ketika guru bertanya dan menyuruh muridnya ke depan dia selalu ingin menjadi yang pertama menjawab pertanyaan guru tersebut hanya saja jawaban yang ia berikan salah, dia hanya ingin mencari perhatian dari gurunya selain itu juga dia selalu mengganggu teman-temannya misalnya saja dia suka mengelitik teman yang ada disampingnya ataupun di depannya sehingga membuat temannya merasa tidak nyaman atau terganggu. 

B. Sintesis
             Melihat dari tingkah laku Wahyu yang suka mengganggu temannya ketika belajar dapat dikatakan bahwa Wahyu merupakan anak yang hiperaktif, tetapi  kemampuan belajarnya sangat kurang, sehingga anak ini dapat digolongkan ke dalam anak yang hiperaktif dengan intelegensi rendah.

C. Diagnosis Masalah
            Dari hasil wawancara didapatkan keterangan bahwa Wahyu merupakan anak yang kurang sekali dalam belajar dia sulit sekali dalam menerima pelajaran dikarenakan dia jarang memperhatikan ataupun dia jarang berkonsentrasi ketika guru sedang menjelaskan yang dia lakukan hanya bermain-main saja sehingga hasil atau prestasinya menurun tetapi dia memiliki keberanian yang tinggi ketika guru menyuruh murid ke depan untuk mengerjakan soal yang diberikan dia selalu menjadi yang pertama, hanya saja jawabannya kurang tepat. Oleh karena itu guru sering menegur dia agar dia memperhatikan dan melarang dia tidak melakukan kegaduhan di dalam kelas yang bisa mengganggu temannya yang lain, maka dari itu guru mencari tahu kepada orang tuanya apa yang menyebabkan tingkah laku anaknya yang sering membuat kegaduhan, ternyata orang tuanya Wahyu memperhatikan keseharian anaknya dan kurang sekali dalam memberikan kasih sayang sehingga anak tersebut sering mencari perhatian kepada gurunya atau teman-temannya. Misalkan saja ketika belajar dia sering membuat suasana kelas gaduh yang menyebabkan guru dan teman-temannya terganggu.                                                  
Dari hasil diagnosis yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Wahyu merupakan anak yang hiperaktif dengan intelegensi yang rendah dikarenakan dia kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya sehingga dia mencari perhatian kepada orang lain.

D. Prognosis Masalah                                                                                              
                  Langkah awal untuk mengatasi anak hiperaktif guru/ peneliti harus melihat faktor penyebabnya, bila faktor penyebab itu berkaitan dengan keluarga maka guru/peneliti harus bekerjasama dengan orang tua anak untuk membantu mengatasinya dan bila faktor penyebabnya dari fisik anak maka kita sebagai seorang guru harus bisa memberikan tugas-tugas belajar kepada anak agar anak bisa memusatkan perhatian dalam belajar sehingga anak bisa tenang dan berkonsentrasi dalam belajar.
Ternyata factor  penyebabnya adalah  orang tuanya kurang memperhatikan keseharian anaknya dan kurang sekali dalam memberikan kasih sayang sehingga anak tersebut sering mencari perhatian kepada gurunya atau teman-temannya. Misalkan saja ketika belajar dia sering membuat suasana kelas gaduh yang menyebabkan guru dan teman-temannya terganggu .
Jadi langkah awal yang saya/guru lakukan adalah berkerjasama bersama orang tua anak untuk membantu mengatasi masalah tersebut misalkan saja orang tua harus lebih perhatian kepada anaknya              
            Selain itu anak yang mengalami masalah hiperaktif dengan intelegensi rendah dapat ditangani dengan cara sebagai berikut:
1.   Memberikan kesempatan kepada anak untuk duduk di depan atau dekat dengan  guru agar
     perhatian  guru tidak terlepas dari anak tersebut.
2.      Memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba menyelesaikan semua tugas yang
            diberikan guru agar anak tersebut bisa mandiri tidak tergantung kepada orang lain.
3.      Memberikan waktu istirahat kepada anak agar tidak merasa kecapaian karena sering
menguras tenaganya dengan menggerak-gerakan anggota badannya.
4.      Guru bersama orang tua harus bisa bekerjasama dalam memberikan perhatian terutama
orang tua sangat berperan sekali dalam kehidupan anaknya. Apabila orang tua kurang dalam memberikan perhatian dan kasih sayang maka anak tersebut akan mencari perhatian terhadap orang lain.
5.      Guru harus bekerjasama dengan dokter untuk mengatasi anak yang hiperaktif sebab anak-
anak tersebut memerlukan pengobatan secara medis.

E.  Treatment Masalah
1. Treatment Disekolah                                                                                       
Peneliti memberikan saran kepada guru untuk menangani anak seperti Wahyu dengan cara:
a. Guru harus bisa memberikan pengarahan kepada anak bahwa apa yang dilakukannya itu
    salah dan banyak merugikan orang lain.
b.       Guru memberikan motivasi kepada anak dengan cara memberikan pujian -pujian dan hadian
    agar anak tersebut semangan dalam belajar sehingga  dia memperhatikan apa yang  
    disampaikan guru.
c.    Guru memberikan tugas kepada anak agar anak tersebut bisa mengembangkan atau 
merangsang kemampuan berpikirnya.
2. Treatmen Dirumah                                                                                                                  
                  Peneliti menyarankan kepada orang tua Wahyu agar lebih memperhatikan anaknya, dengan cara memberikan kasih sayang kepada anak namun tidak memanjakannya, menjalin komunikasi yang baik dengan anak, selalu katakan ia anak baik dan berikan apresiasi bila ia melakukan hal yang baik, hindari tayangan TV, video dan games yang bersifat kekerasan dan etika ,menasehati anak sebaiknya jelas dan spesifik serta diulang-ulang agar anak mudah memahami dan tidak menggunakan kekerasan.

E. Kendala dan Solusi
1.  Kendala
   Anak tersebut dalam kegiatan belajar mengajar sulit memperhatikan dan berkonsentrasi yang dia lakukan hanya bermain-main saja sehingga mengganggu orang lain dalam kegiatan belajar mengajar.   

2.  Solusi
            Agar Wahyu memperhatikan dalam pembelajaran, makahal yang harus dilakukan oleh guru yaitu :
a.      Guru dalam mengajar harus menarik sehingga kondisi dalam kelas tenangdan anak pun
dalam belajarnya senang.
b.  Guru harus menggunakan media sesuai dengan bahan ajar.
c.  Guru menjauhkan pengaruh yang mengganggu konsentrasi belajar anak.
d. Guru memberikan pengertian manfaat bahan ajar yang akan diajarkan pada siswa.
e.  Guru terlebih dahulu mendekati anak tersebut dan mencari apa penyebab anak bisa
     berperilaku seperti itu.
f. Guru memberikan nasehat kepada anak tersebut dan mengadakan konsultasi kepada orang
    tuanya.    

F. Tindak Lanjut       
             Demi kelancaran penanganan masalah maka perlu adanya tindak lanjut supaya anak yang bermasalah tidak kembali pada permasalahan sebelumnya, untuk itu dalam menindaklanjuti anak yang bermasalah ini, adalah:
1. Guru mengadakan komunikasi dengan orang tua untuk mengatasi masalah secara bersama.
2. Selalu memberikan pengertian agar anak tersebut tidak melakukan masalah lagi.
3.  Selalu memberikan kesempatan kepada anak untuk mengerjakan tugas-tugas yang bisa
     membuat anak tersebut mandiri.
4. Memberikan bimbingan pribadi kepada siswa agar bisa bertingkah laku baik lagi. 

            Setelah melakukan Observasi dan wawancara terhadap guru kelas siswa yang bersangkutan, maka dapat diketahui bahwa penyebab masalah yang dihadapi Wahyu, siswa kelas 2 SD di SDN Blumbungan II Pamekasan yaitu kurangnya perhatian dari orang tua sehingga anak cenderung nakal dan kurang bersemangat dalam mengikuti pelajaran, begitupun juga lingkungan yangkurang mendukung karena dia berteman dengan anak-anak yang jugamemiliki masalah yang sama dengan dirinya.

 
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari hasil observasi yang telah saya lakukan banyak sekali masalah-masalah yang dihadapi, maka dari itu kita sebagai calon guru harus bisa membimbing pribadi siswa dan memberikan pelayanan bimbingan jiwa bagi dirinya sendiri maupun siswa. Maka dari itu kita harus bisa mengembangkan pribadi yang baik dan mandiri.                                                       
Permasalahan yang dialami anak SD bermacam-macam jenisnya. Maka dari itu kita harus bisa mengetahui faktor penyebab anak melakukan masalah dan solusi apa yang terbaik untuk mengatasinya. Bimbingan dan konseling menjadi sarana mengatasi anak seperti Wahyu, baik bimbingan konseling yang dilakukan di rumah maupun di sekolah. Selain itu perlu ada kerjasama antara pihak sekolah dan orang tua dalam menangani anak tersebut. Kerjasama yang baik antara semua pihak dalam menangani anak yang mempunyai masalah seperti Wahyu, akan sangat membantu dalam perbaikannya kedepan demi amasa depan anak tersebut.

B.      Saran
            Agar permasalahan yang terjadi pada anak tidak terulang kembali, hendaknya guru sering memberikan bimbingan dan pengertian kepada anak. Selain itu juga guru lebih sering memberikan penugasan supaya anak dapat mengembangkan dan rangsangan untuk berpikir.    
  

Daftar Pustaka

Abu Bakar Baraja. 2004. Psikologi Perkembangan, Jakarta, Studio Pers.
Wahyuni, Karsih. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung : PT Refika Aditam.