Rabu, 13 Desember 2017

PENDEKATAN KRITIK SASTRA TERHADAP AL-QUR’AN PERSPEKTIF AMIN AL-KHULLI

Oleh : Lin Asyiqoh (16720064)
Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab



A. Pendahuluan
Al-Qur’an turun tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan dalam sebuah masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan keagamaan.[1] Sebagai kitab suci terakhir untuk seluruh manusia hingga akhir zaman, Al-Qur’an menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang dan maju. Ia mengandung ayat-ayat kealaman dan kemasyarakatan yang dapat dijadikan pedoman, motivasi dan etika dalam penciptaan tatanan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi objektif setiap komunitas masyarakat dengan tetap bersendi pada prinsip-prinsip umum yang ditetapkan Al-Qur’an. Substansi ajaran Al-Qur’an tidak bermaksud menciptakan masyarakat yang seragam diseluruh belahan bumi sepanjang masa, akan tetapi memberikan prinsip umum yang memungkinkan terwujudnya pola keseimbangan hidup di dalam masyarakat dan mewujudkan suasana ketentraman hidup di bawah ridha Tuhan.
Ayat-ayat Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur. Dengan demikian ia bukanlah fenomena instan atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Periode antara wahyu yang satu dengan wahyu lainnya kadang-kadang sangat lama, manakala Nabi menunggu-nunggu bimbingan mengenai isu-isu tertentu. Inilah yang terjadi. Misalnya, dalam peristiwa hijrah. Ketika para sahabat Nabi sudah meninggalkan Makkah yang berbahaya, Nabi sendiri menunggu wahyu yang akan memberinya bimbingan khusus. Ini pula yang terjadi ketika Nabi Muhammad merasakan perlunya menenangkan situasi dan menunggu dengan perasaan tak sabar soal datangnya wahyu yang tegas.
Apa pun hipotesis yang dibuat mengenai watak Al-Qur’an, seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia bertumpu pada arus tunggal kejeniusan manusiawi. Namun dengan melihat ke belakang, kita dapat menyaksikan bahwa berangsur-angsurnya wahyu ini mengandung makna penting bagi keberhasilan misi Nabi Muhammad. Dan untuk memahami setiap ayat dalam Al-Qur’an, banyak sekali metode-metode yang dipakai para mufassir untuk menafsirkan Al-Qur’an, tak jarang pula corak penafsirannya bersifat objektif. Berdasarkan banyaknya corak penafsiran dalam memahami Al-Qur’an, seorang pakar Al-Qur’an yang bernama Amin Al-Khulli, menawarkan sebuah metode baru dalam memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra sebagai cara paling sesuai untuk memahami Al-Qur’an tanpa adanya campur tangan pemahaman-pemahaman diluar Al-Qur’an.
Menurut Amin Al-Khulli, Al-Qur’an merupakan kitab sastra Arab yang paling agung, sehingga metode yang paling sesuai untuk menafsirkannya yaitu melalui kajian-kajian teks, yang mana asumsi dasar tentang teks ini memiliki konsekuensi yang cukup penting dalam menjalankan tindak penafsiran agar sampai pada makna yang sesungguhnya dari Al-Qur’an. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Pendekatan Kritik Sastra Terhadap Al-Qur’an Perspektif Amin Al-Khulli.

B.  Sekilas Tentang Amin Al-Khulli
Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf Al-Khulli adalah nama asli dari Amin Al-Khulli. Lahir pada 1 Mei 1895 di sekitar Menoufya, sebuah kota kecil di Mesir. Ia berasal dari keluarga petani gandum yang berpegang ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia memiliki wacana yang luas terhadap peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya.[2] Sejak usia 7 tahun Amin Al-Khulli tinggal bersama kakeknya dari pihak ibu, di bawah pengawasan pamannya Amin Ali Amir yang juga merupakan lulusan Al-Azhar. Kemudian Amin Al-Khulli disekolahkan di sekolah rakyat, gemblengan dari sang kakek pun terus diterimanya, dimulai dari pendidikan agama, menghafal Al-Qur’an, mempelajari tajwid, juga berbagai disiplin ilmu lain. Kondisi inilah yang mendukung serta menyebabkan Amin Al-Khulli berhasil menghafal Al-Qur’an di usia yang sangat muda.
Setelah menamatkan sekolahnya, Amin Al-Khulli melanjutkan studinya di sekolah khusus keluarga Aristokrat Usmaniah yakni Madrasah Al-Qaisuni, yang merupakan sekolah yang bertujuan untuk mencetak para pengajar. Pendidikan Amin Al-Khulli terus berlanjut ke Madrasah Al-Ilhamiyah yang sangat respektif terhadap para hafidz Al-Qur’an. Di samping itu, sekolah ini juga sangat memperhatikan ilmu-ilmu eksak disamping fokus pada ilmu Al-Qur’an, sehingga tidak hanya ilmu agama yang dimiliki Amin Al-Khulli, akan tetapi seimbang dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Di sekolah inilah Amin Al-Khulli mendalami gramatika dengan menuntaskan kitab jilid ketiga dan keempat karya Hifni Nasif dan Hamzah Fathillah yang berisikan penjelasan mengenai matan Alfiyyah Ibnu Malik. Madrasah al-Qada al-Syar’i. Akademi Hukum menjadi jenjang pendidikan pilihan Amin Al-Khulli selanjutnya. Akademi ini merupakan sebuah sekolah berbasis politik, akademis, ilmiah, dan sosial.
Adapun 2 karya penting Amin Al-Khulli dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Al-Qur’an yaitu “Fi Adabi Masyri’ dan “Fannul Qaul”. Ia mengkaji bahasa dan sastra sebagai upaya untuk membongkar kebuntuan persepsi tentang kesakralan Al-Qur’an. Karena banyak mengkaji Ilmu  Bahasa dan Sastra, Al-Khulli menjadi redaktur penulis materi tafsir dalam Ensiklopedia Dairah al Ma’arif al Islamiyyah. Ia menekankan pengkajian Al-Quran pada kajian tematis   dan menafsirkannya dengan interpretasi sastra sambil tetap mempertimbangkan aspek psikis dalam Al-Quran.[3]
Amin Al-Khulli pun mengakhiri perjuangannya sebagai inovator dalam menafsirkan  Al-Qur’an pada 6 Maret 1966, dalam usia 71 tahun.

C.  Inovasi dan Corak Penafsiran Amin Al-Khulli
Mengenai Metodologi dalam menafsirkan Al-Qur’an, Amin Al-Khulli menjelaskan dalam bukunya bahwa pada prinsipnya, basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari Al-Qur’an secara objektif. Artinya, untuk memahami Al-Qur’an, seorang mufassir harus kosong atau tidak terpengaruh dari prasangka-prasangka atau pemahaman lain diluar Al-Qur’an. Cara Amin Al-Khulli menafsirkan Al-Qur’an dimulai dengan mengumpulkan semua surah dan ayat yang ada di dalam Al-Qur’an ke dalam tema yang akan dikaji. Pertama-tama dalam memahami nash, yang terpenting adalah menyusun ayat-ayat menurut nuzul-nya untuk mengetahui situasi waktu dan tempat, seperti yang diungkapkan oleh riwayat-riwayat tentang asbabun nuzul sebagai konteks yang menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada keumuman lafal, bukan pada sebab khusus turunnya ayat. Asbabun nuzul hendaknya tidak dipandang sebagai penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan. Perselisihan dalam asbabun nuzul pada prinsipnya kembali kepada orang-orang yang semasa dengan turunnya ayat atau surah, yang masing-masing menghubungkannya dengan peristiwa yang dipahami atau diduganya sebagai sebab turunnya ayat Al-Qur’an.
Dalam memahami petunjuk lafal, beliau menegaskan bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur’an. Karena itu, hendaknya para mufassir mencari petunjuk pada bahasa aslinya sehingga memberikan kepada kita rasa kebahasaan bagi lafal yang memberikan kepada penafsir tentang rasa kebahasaan bagi lafal-lafal yang digunakan secara berbeda, baik yang hakiki maupun yang majazi, kemudia baru dapat disimpulkan muatan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafal yang ada didalamnya, lalu mencari konteksnya yang khusus dan umum didalam ayat dan surah Al-Qur’an secara keseluruhan. Sedangkan dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, beliau mengikuti konteks nash di dalam Al-Qur’an baik dengan berpegang pada makna nash maupun semangatnya. Kemudian makna tersebut kita konfirmasikan dengan pendapat para mufasir. Melalui cara ini kita terima apa yang ditetapkan nash, dan menjauhi kisah-kisah isroiliyyat, serta hal-hal yang dicampuri dengan nafsu.
Disamping itu, selain berpatokan pada asbabun nuzul serta nash, Amin Al-Khulli juga mengikuti kitab-kitab berbahasa Arab yang secara jelas dan pasti memberi arah melalui i’rab dan rahasia-rahasia mengenai penjelasan atau ulasan. Beliau juga merujukkan makna pada kaidah-kaidah ahli nahwu dan balaghah tanpa mempetentangkannya, serta tidak mengambil takwil ulama salaf jika nash dan konteksnya sudah jelas, karena adanya kesamaan antara kaidah-kaidah nahwu dan patokan-patokan balaghah. Sebab Al-Qur’an adalah kitab yang memiliki kemukjizatan yang paling tinggi, nash tertinggi yang tidak ternodai dari jalan manapun serta tidak mengalami perubahan sedikitpun seperta yang menimpa periwayatan nash-nash bahasa sastra.
Amin Al-Khulli menawarkan metode tafsir yang lebih dikenal dengan tafsir satra terhadap Al-Qur’an (at-Tafsir al-Adabi li Al-Qur’an). Metode ini sasarannya adalah untuk mendapatkan pesan Al-Qur’an secara menyeluruh dan diharapkan bisa terhindar dari tarikan-tarikan individual-ideologis dan politik kekuasan. Al-Qur’an harus dianggap sebagai teks sastra suci. Oleh karenanya, agar bisa memahami ayat Al-Qur’an secara proporsional, seseorang harus menempuh metode pendekatan sastra (al-manhaj al-adabi) yaitu corak tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menguraikan aspek kebahasaan dari pada pesan pokok dari ayat yang ditafsirkan.[4]
Dalam hal ini, metode penasfsiran Al-Qur’an Amin Al-Khulli dilakukan dengan 2 cara, yaitu dirosah ma haula Al-Qur’an dan dirosah ma fil Qur’an nafsihi. Dirosah ma haula Al-Qur’an ini berkaitan dengan hal-hal yang ada di sekitar dan di luar Al-Qur’an seperti asbaban nuzul, keadaan bangsa arab ketika itu, tradisi-tradisi keagamaan, kultural, situasi sosial bangsa Arab terdahulu,  kronologi penyampaian teks Al-Qur’an dan lainnya. Jadi dalam menafsirkan Al-Qur’an, menurut Amin Al-Khulli, seorang mufassir harus melacak terlebih dahulu lingkungan material maupun non material yang ada ketika Al-Qur’an turun, hidup, dihimpun, ditulis, dibaca dan dihafal atau boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Dirosah ma haula Al-Qur’an ini berkaitan dengan studi Al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud Dirosah ma fil Qur’an nafsihi yaitu mengenai aspek kebahasaan atau linguistik yang ada dalam Al-Qur’an. Mengkaji Al-Qur’an dengan cara menganalisis makna yang tersimpan dalam setiap kata didalamnya. Karena menurut Amin Al-Khulli, setiap kata dalam bahasa Arab mempunyai porsi kedudukan, maksud serta penggunaan yang berbeda sekalipun secara dhohirnya memiliki makna yang sama.
Seperti contoh penafsiran yang dilakukan oleh muridnya yang bernama Bintu Syathi’ atau Dr. Aisyah Abdurrahman, yang belakangan kemudian menjadi istrinya. Bintu asy-Syati’ secara konsisten mengadopsi metode yang digagas oleh Amin Al-Khulli yang diantaranya adalah membiarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya, karena dalam teks Al-Qur’an saling menjelaskan satu sama lainnya. lebih menekankan pada aspek kebahasaan dalam menafsirkan Al-Qur’an untuk sampai pada makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Pembebasan terhadap Al-Qur’an ini bukan berarti memahami teks tanpa menggunakan perangkat, akan tetapi setelah pertautan antara satu teks dengan teks yang lainnya diketahui, maka cara kemudian yang dikedepankan adalah pelacakan makna yang dikehendaki teks dengan analisis linguistik dan sastra.
Adapun salah satu temuan dari metode yang telah diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu mengenai sinonim kata yang menurut para ahli linguistik memiliki arti dan penggunaan yang sama, padahal sebenarnya setiap kata memiliki arti dan fungsi serta pemakain yang berbeda-beda. Ketika dalam Al-Qur’an disebutkan sebuah kata tertentu, maka kata tersebut tidak dapat diganti dengan kata lain yang meskipun menurut sebagian orang memiliki arti yang berdekatan bahkan sama. Karena sejatinya setiap kata dalam Al-Qur’an adalah memiliki ,akna yang berbeda. Contohnya kata qasama, yang mana biasanya kata tersebut disinonimkan dengan kata halafa yang berarti sumpah. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Melalui survei deduktif dari seluruh tempat dalam Al-Qur’an, asal kedua kata tersebut terdapat dengan berbagai bentuknya. [5] kata qasama digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah diniatkan untuk melanggar, sedangkan halafa selalu digunakan untuk menunjukkan sumpah palsu yang selalu dilanggar. Begitu juga berbeda dalam penggunaan kata fi’il maupun isim, sekalipun dari satu kata yang sama. Misalnya, kata aamanu dan mu’min. Kedua berasal dari kata dasar yang sama yaitu amana ya’manu, akan tetapi salah keduanya mempunyai makna yang tak sama. Aamanu berarti setiap orang yang beriman meskipun tingkat keimanannya belum 100%, sedangkan yang disebut mu’min yaitu yang tingkat vkeimanannya benar-benar mencapai tingkat yang paling tinggi. Oleh karena itu di dalam Al-Qur’an disebutkan dalam ayat tentang kewajiban puasa yang pada ayat tersebut menggunakan kata aamanu, itu berarti orang-orang yang beriman, meskipun tingkat keimanannya masih rendah tetap diwajibkan untuk berpuasa, berbeda dengan surat al-mu’minun pada ayat pertama yang menyatakan kepastian tentang kemenangan yang akan diperoleh oleh orang yang beriman. Pada ayat tersebut menggunakan kata mu’minun yang dengan demikian berarti bahwa orang yang akan mendapatkan sebuah kemenangan yang hakiki adalah orang beriman yang tingkat keimanannya tinggi.
Meski demikian, penafsiran dengan pendekatan sastra yang lebih mengedepankan aspek linguistik ini tidak dengan serta merta hanya ditinjau dari aspek kebahasaannya saja. Sebagaimana telah dijelaskan diawal bahwa tentunya tidak mengabaikan segala hal luar yang berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an seperti asbabun nuzul dan sebagainya.

D.   Penolakan Amin Al-Khulli Terhadap Tafsir ‘Ilmy
Seiring perkembangnya zaman, semakin berkembang pula metode-metode yang digunakan oleh para mufassir untuk sampai pada makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dan tidak sedikit metode yang digunakan para mufassir dalam memahami makna ayat bersifat subjektif.  Menurut Amin Al-Khulli, untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak dibenarkan jika terlalu bersifat subjektif atau  bahkan  terlalu mengaitkan dengan hal-hal diluar Al-Qur’an. Oleh karena itu, Amin Al-Khulli menolak adanya tafsir ‘ilmy.
Sebelum membahas mengenai penolakan Amin Al-Khulli mengenai tafsir ‘ilmy, perlu kiranya sedikit dibahas mengenai tafsir ‘ilmy. Yang dimaksud dengan tafsir ‘ilmy disini yaitu sebuah tafsir yang menilai temuan-temuan ilmiah menurut ungkapan Al-Qur’an.[6] Jadi, mengkaji hasil temuan-temuan ilmiah yang telah dilakukan oleh peneliti yang kemudian disingkronkan dengan ayat Al-Qur’an. Bagi sebagian mufassir hal ini adalah hal yang wajar. Karena salah satu kemukjizatan Al-Qur’an adalah termasuk didalamnya keilmiahan-keilmiahan yang bisa jadi penelitian itu telah termaktub dalam Al-Qur’an jauh sebelum adanya penelitian tersebut. Akan tetapi, Amin Al-Khulli tidak sepakat dengan pendapat seperti ini. Bukan karena menolak kemukjizatan Al-Qur’an, hanya saja lebih kepada penekanan cara pemahaman Al-Qur’an dengan cara pendekatan sastra yang dirasa lebih sesuai dengan mengedepankan aspek linguistik dibanding yang lainnya untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman atau penuduhan ketidak otentikan Al-Qur’an oleh para orientalis.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa prinsip-prinsip dasar keilmiahan maupun ilmu-ilmu pengetahuan seperti kedokteran, astronomi, ilmu hisab, kimia dan yang lainnya tidak ada seorangpun yang dapat memberikan kaidah pasti. Semua keilmiahan yang ada didunia ini masih bersifat tidak pasti. Seiring perkembangan zaman, muncul berbagai sarjana dari segala penjuru yang kemudian kembali melakukan penelitian dengan hasil akhir yaitu adanya revisi atas prinsip dasar yang telah dilakukan penelitian pasa masa lampau. Apapun yang dilakukan peneliti sebelumnya pasti akan mmengalami perubahan karena ilmu pengetahuan bersifat tidak pasti. Sehingga jika ilmu pengetahuan dikaitkan dengan Al-Qur’an yang bersifat pasti dan tidak akan berubah meski telah terjadi perkembangan zaman, ditakutkan akan memberikan kesempatan pada para orientalis untuk merusak keautentikan Al-Qur’an itu sendiri. Berdasarkan logika itu lah Amin Al-Khulli menolak adanya tafsir ‘ilmy.
Penolakan Amin Al-Khulli terhadap tafsir ilmiah ini, pada prinsipnya dipengaruhi oleh perhatiannya yang sangat besar terhadap pendekatan sastra (al-manhaj al-adabi) dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Dalam pandangan Amin Al-Khulli, penafsiran Al-Quran dengan pendekatan sastra tidak lebih merupakan bentuk penafsiran teks-teks keagamaan untuk senantiasa selaras dengan hal-hal yang temporer dan relatif. Amin Al-Khulli menolak karena menurutnya kalangan mufassir ilmiah cenderung mengabaikan pemahaman terhadap konteks dan dan teks serta relasi antar teks. Padahal, dua hal ini merupakan konsiderasi yang niscaya bagi seseorang yang hendak mengetahui makna yang dikehendaki teks. Cara penafsiran ilmiah yang terkesan”semena-mena” ini, menurut Amin Al-Khulli, dapat merusak citra keagungan dan kesucian Al-Quran sebagai teks keagamaan yang suci dan absolut.
“Ketidakberesan” tafsir ilmiah, menurut menurut Amin Al-Khulli, terletak pada tiga aspek. Pertama, dari aspek bahasa. Penafsiran ilmiah tidak tidak kompatibel dengan makna kata-kata Al-Quran. Kedua, dari segi filologi dan ilmu bahasa serta sastra, Al-Quran yang diturunkan di abad ke tujuh dengan masyarakat Arab sebagai sasaran wahyu, tentunya tidak berisi informasi-informasi pengetahuan alam yang tidak mampu mereka pahami. Aspek ketidaksesuaian ini dilihat dari dari ketepatan makna pesan yang dibawa Al-Quran. Ketiga, dari segi teologis. Penafsiran ilmiah tidak tidak bisa diterima dan tidak bisa dibenarkan karena Al-Quran merupakan kitab suci yang mempunyai misi pesan-pesan moral keagamaan, tentu tidak bersentuhan dengan teori-teori kosmologis. Ia merupakan kitab hidayah yang tidak boleh dipaksakan untuk senantiasa selaras dengan penemuan-penemuan di bidang keilmuan, seperti fisika, kimia, astronomi, biologi, yang semuanya bersifat relatif dan kontemporer
 Sedangkan mengenai adanya sebuah pendapat yang menjelaskan tentang kebenaran kemukjizatan Al-Qur’an yang mengandung berbagai macam keilmiahan, merupakan salah satu ijtihad para mufassir untuk mempertahankan sebuah pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

E.      Kesimpulan
Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf Al-Khulli adalah nama asli dari Amin Al-Khulli. Lahir pada 1 Mei 1895 di sekitar Menoufya, sebuah kota kecil di Mesir. Ia merupakan salah satu inovator dalam penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan corak penafsiran pendekatan sastra untuk memahami Al-Qur’an secara objektif.
Adapun metode penafsiran Al-Qur’an yang diusung oleh Amin Al-Khulli ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu dirosah ma haula Al-Qur’an dan dirosah ma fil Qur’an nafsihi.
Amin Al-Khulli juga menolak adanya tafsir ‘ilmy. Karena menurutnya terdapat sebuah ketidakberesan dalam tafsir ilmy yang mencakup 3 hal, yaitu terletak pada aspek bahasa, filologi dan teologis.

F.    Daftar Pustaka
Abdurrahman, Aisyah, Tafsir Bintu Syathi’, Bandung:Mizan, 1996.
Abied Shah, M. Aunul, Amin al Khuli dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah  Biografi Intelektual, Bandung : Mizan, 2001.
Al-Khulli, Amin dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Kesastraan Atas Al-Qur’an, Yogyakarta:Bina Media, 2005.
Chirzin, Muhammad, Kearifan Al-Qur’an (Eksistensi, Idealitas, Realitas, Normativitas dan Historisitas), Yogyakarta:Pilar Media, 2007.
Istianah, Stilisitika Al-Qur’an : Pendekatan sastra sebagai analisis dalam menginterpretasikan al-Qur’an,  Jurnal hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, STAIN Kudus.
Yusron, Dkk. Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Th Press, 2006.


[1] Muhammad Chirzin, Kearifan Al-Qur’an (Eksistensi, Idealitas, Realitas, Normativitas dan Historisitas), Yogyakarta:Pilar Media, 2007, hal. 19.
[2]M. Aunul Abied Shah, Amin al Khuli dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah  Biografi Intelektual, Bandung : Mizan, 2001, hal. 131.
[3] Yusron, Dkk. Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Th Press, 2006, hal. 6.
[4]Istianah, Stilisitika Al-Qur’an:Pendekatan sastra sebagai analisis dalam menginterpretasikan al-Qur’an,  Jurnal hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, STAIN Kudus, hal. 382. 
[5] Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintu Syathi’, Bandung:Mizan, 1996, hal. 21
[6] Amin Al-Khulli dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Kesastraan Atas Al-Qur’an, Yogyakarta:Bina Media, 2005, hal. 28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar