Oleh :
Lin Asyiqoh (16720064)
Mahasiswa Program Pascasarjana UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
Prodi
Magister Pendidikan Bahasa Arab
|
A. Pendahuluan
Al-Qur’an
turun tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan dalam
sebuah masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan keagamaan.[1] Sebagai
kitab suci terakhir untuk seluruh manusia hingga akhir zaman, Al-Qur’an
menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang dan
maju. Ia mengandung ayat-ayat kealaman dan kemasyarakatan yang dapat dijadikan
pedoman, motivasi dan etika dalam penciptaan tatanan kemasyarakatan yang sesuai
dengan kondisi objektif setiap komunitas masyarakat dengan tetap bersendi pada
prinsip-prinsip umum yang ditetapkan Al-Qur’an. Substansi ajaran Al-Qur’an
tidak bermaksud menciptakan masyarakat yang seragam diseluruh belahan bumi
sepanjang masa, akan tetapi memberikan prinsip umum yang memungkinkan
terwujudnya pola keseimbangan hidup di dalam masyarakat dan mewujudkan suasana
ketentraman hidup di bawah ridha Tuhan.
Ayat-ayat
Al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur. Dengan demikian ia bukanlah
fenomena instan atau terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Periode antara
wahyu yang satu dengan wahyu lainnya kadang-kadang sangat lama, manakala Nabi
menunggu-nunggu bimbingan mengenai isu-isu tertentu. Inilah yang terjadi.
Misalnya, dalam peristiwa hijrah. Ketika para sahabat Nabi sudah meninggalkan
Makkah yang berbahaya, Nabi sendiri menunggu wahyu yang akan memberinya
bimbingan khusus. Ini pula yang terjadi ketika Nabi Muhammad merasakan perlunya
menenangkan situasi dan menunggu dengan perasaan tak sabar soal datangnya wahyu
yang tegas.
Apa
pun hipotesis yang dibuat mengenai watak Al-Qur’an, seseorang tidak dapat
mengatakan bahwa ia bertumpu pada arus tunggal kejeniusan manusiawi. Namun
dengan melihat ke belakang, kita dapat menyaksikan bahwa berangsur-angsurnya
wahyu ini mengandung makna penting bagi keberhasilan misi Nabi Muhammad. Dan
untuk memahami setiap ayat dalam Al-Qur’an, banyak sekali metode-metode yang
dipakai para mufassir untuk menafsirkan Al-Qur’an, tak jarang pula corak
penafsirannya bersifat objektif. Berdasarkan banyaknya corak penafsiran dalam
memahami Al-Qur’an, seorang pakar Al-Qur’an yang bernama Amin Al-Khulli,
menawarkan sebuah metode baru dalam memahami makna yang terkandung dalam
Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra sebagai cara paling sesuai untuk
memahami Al-Qur’an tanpa adanya campur tangan pemahaman-pemahaman diluar
Al-Qur’an.
Menurut
Amin Al-Khulli, Al-Qur’an merupakan kitab sastra Arab yang paling agung,
sehingga metode yang paling sesuai untuk menafsirkannya yaitu melalui
kajian-kajian teks, yang mana asumsi dasar tentang teks ini memiliki konsekuensi
yang cukup penting dalam menjalankan tindak penafsiran agar sampai pada makna
yang sesungguhnya dari Al-Qur’an. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Pendekatan
Kritik Sastra Terhadap Al-Qur’an Perspektif Amin Al-Khulli.
B. Sekilas Tentang Amin Al-Khulli
Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf Al-Khulli
adalah nama asli dari Amin Al-Khulli. Lahir pada 1 Mei 1895 di sekitar
Menoufya, sebuah kota kecil di Mesir. Ia berasal dari keluarga petani gandum
yang berpegang ketat pada tradisi keagamaan al-Azhar. Dia memiliki wacana yang
luas terhadap peradaban Barat dengan metodologi pengkajiannya.[2] Sejak
usia 7 tahun Amin Al-Khulli tinggal bersama kakeknya dari pihak ibu, di bawah
pengawasan pamannya Amin Ali Amir yang juga merupakan lulusan Al-Azhar.
Kemudian Amin Al-Khulli disekolahkan di sekolah rakyat, gemblengan dari sang
kakek pun terus diterimanya, dimulai dari pendidikan agama, menghafal
Al-Qur’an, mempelajari tajwid, juga berbagai disiplin ilmu lain. Kondisi inilah
yang mendukung serta menyebabkan Amin Al-Khulli berhasil menghafal Al-Qur’an di
usia yang sangat muda.
Setelah menamatkan sekolahnya, Amin Al-Khulli melanjutkan studinya
di sekolah khusus keluarga Aristokrat Usmaniah yakni Madrasah Al-Qaisuni, yang
merupakan sekolah yang bertujuan untuk mencetak para pengajar. Pendidikan Amin Al-Khulli
terus berlanjut ke Madrasah Al-Ilhamiyah yang sangat respektif terhadap para
hafidz Al-Qur’an. Di samping itu, sekolah ini juga sangat memperhatikan
ilmu-ilmu eksak disamping fokus pada ilmu Al-Qur’an, sehingga tidak hanya ilmu
agama yang dimiliki Amin Al-Khulli, akan tetapi seimbang dengan ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya. Di sekolah inilah Amin Al-Khulli mendalami gramatika
dengan menuntaskan kitab jilid ketiga dan keempat karya Hifni Nasif dan Hamzah
Fathillah yang berisikan penjelasan mengenai matan Alfiyyah Ibnu Malik. Madrasah
al-Qada al-Syar’i. Akademi Hukum menjadi jenjang pendidikan pilihan Amin Al-Khulli
selanjutnya. Akademi ini merupakan sebuah sekolah berbasis politik, akademis,
ilmiah, dan sosial.
Adapun 2 karya penting Amin Al-Khulli
dalam menapaki pendekatan sastrawi atas Al-Qur’an yaitu “Fi Adabi Masyri’ dan
“Fannul Qaul”. Ia mengkaji bahasa dan sastra sebagai upaya untuk membongkar
kebuntuan persepsi tentang kesakralan Al-Qur’an. Karena banyak mengkaji
Ilmu Bahasa dan Sastra, Al-Khulli
menjadi redaktur penulis materi tafsir dalam Ensiklopedia Dairah al Ma’arif al
Islamiyyah. Ia menekankan pengkajian Al-Quran pada kajian tematis dan menafsirkannya dengan interpretasi
sastra sambil tetap mempertimbangkan aspek psikis dalam Al-Quran.[3]
Amin Al-Khulli pun mengakhiri
perjuangannya sebagai inovator dalam menafsirkan Al-Qur’an pada 6 Maret 1966, dalam usia 71
tahun.
C. Inovasi dan Corak Penafsiran Amin
Al-Khulli
Mengenai Metodologi dalam menafsirkan
Al-Qur’an, Amin Al-Khulli menjelaskan dalam bukunya bahwa pada prinsipnya, basis
metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari Al-Qur’an secara
objektif. Artinya, untuk memahami Al-Qur’an, seorang mufassir harus kosong atau
tidak terpengaruh dari prasangka-prasangka atau pemahaman lain diluar
Al-Qur’an. Cara Amin Al-Khulli menafsirkan Al-Qur’an dimulai dengan
mengumpulkan semua surah dan ayat yang ada di dalam Al-Qur’an ke dalam tema
yang akan dikaji. Pertama-tama dalam memahami nash, yang terpenting adalah
menyusun ayat-ayat menurut nuzul-nya untuk mengetahui situasi waktu dan tempat,
seperti yang diungkapkan oleh riwayat-riwayat tentang asbabun nuzul sebagai
konteks yang menyertai turunnya ayat dengan berpegang pada keumuman lafal,
bukan pada sebab khusus turunnya ayat. Asbabun nuzul hendaknya tidak dipandang
sebagai penentu atau alasan yang tanpanya ayat tidak akan diturunkan.
Perselisihan dalam asbabun nuzul pada prinsipnya kembali kepada orang-orang yang
semasa dengan turunnya ayat atau surah, yang masing-masing menghubungkannya
dengan peristiwa yang dipahami atau diduganya sebagai sebab turunnya ayat
Al-Qur’an.
Dalam memahami petunjuk lafal, beliau
menegaskan bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur’an. Karena itu, hendaknya
para mufassir mencari petunjuk pada bahasa aslinya sehingga memberikan kepada
kita rasa kebahasaan bagi lafal yang memberikan kepada penafsir tentang rasa
kebahasaan bagi lafal-lafal yang digunakan secara berbeda, baik yang hakiki maupun
yang majazi, kemudia baru dapat disimpulkan muatan petunjuknya dengan meneliti
segala bentuk lafal yang ada didalamnya, lalu mencari konteksnya yang khusus
dan umum didalam ayat dan surah Al-Qur’an secara keseluruhan. Sedangkan dalam
memahami rahasia-rahasia ungkapan, beliau mengikuti konteks nash di dalam
Al-Qur’an baik dengan berpegang pada makna nash maupun semangatnya. Kemudian
makna tersebut kita konfirmasikan dengan pendapat para mufasir. Melalui cara
ini kita terima apa yang ditetapkan nash, dan menjauhi kisah-kisah isroiliyyat,
serta hal-hal yang dicampuri dengan nafsu.
Disamping itu, selain berpatokan pada
asbabun nuzul serta nash, Amin Al-Khulli juga mengikuti kitab-kitab berbahasa
Arab yang secara jelas dan pasti memberi arah melalui i’rab dan rahasia-rahasia
mengenai penjelasan atau ulasan. Beliau juga merujukkan makna pada
kaidah-kaidah ahli nahwu dan balaghah tanpa mempetentangkannya, serta tidak
mengambil takwil ulama salaf jika nash dan konteksnya sudah jelas, karena
adanya kesamaan antara kaidah-kaidah nahwu dan patokan-patokan balaghah. Sebab
Al-Qur’an adalah kitab yang memiliki kemukjizatan yang paling tinggi, nash
tertinggi yang tidak ternodai dari jalan manapun serta tidak mengalami
perubahan sedikitpun seperta yang menimpa periwayatan nash-nash bahasa sastra.
Amin Al-Khulli menawarkan metode tafsir
yang lebih dikenal dengan tafsir satra terhadap Al-Qur’an (at-Tafsir
al-Adabi li Al-Qur’an). Metode ini sasarannya adalah untuk mendapatkan
pesan Al-Qur’an secara menyeluruh dan diharapkan bisa terhindar dari
tarikan-tarikan individual-ideologis dan politik kekuasan. Al-Qur’an harus
dianggap sebagai teks sastra suci. Oleh karenanya, agar bisa memahami ayat Al-Qur’an
secara proporsional, seseorang harus menempuh metode pendekatan sastra (al-manhaj
al-adabi) yaitu corak tafsir yang berusaha menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan menguraikan aspek kebahasaan dari pada pesan pokok dari ayat yang
ditafsirkan.[4]
Dalam hal ini, metode penasfsiran
Al-Qur’an Amin Al-Khulli dilakukan dengan 2 cara, yaitu dirosah ma haula
Al-Qur’an dan dirosah ma fil Qur’an nafsihi. Dirosah ma haula
Al-Qur’an ini berkaitan dengan hal-hal yang ada di sekitar dan di luar
Al-Qur’an seperti asbaban nuzul, keadaan bangsa arab ketika itu, tradisi-tradisi keagamaan, kultural,
situasi sosial bangsa Arab terdahulu, kronologi penyampaian teks Al-Qur’an dan
lainnya. Jadi
dalam menafsirkan Al-Qur’an, menurut Amin Al-Khulli, seorang mufassir harus
melacak terlebih dahulu lingkungan material maupun non material yang ada ketika
Al-Qur’an turun, hidup, dihimpun, ditulis, dibaca dan dihafal atau boleh dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan Dirosah ma haula Al-Qur’an ini berkaitan dengan studi
Al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud Dirosah ma fil Qur’an nafsihi yaitu
mengenai aspek kebahasaan atau linguistik yang ada dalam Al-Qur’an. Mengkaji
Al-Qur’an dengan cara menganalisis makna yang tersimpan dalam setiap kata
didalamnya. Karena menurut Amin Al-Khulli, setiap kata dalam bahasa Arab
mempunyai porsi kedudukan, maksud serta penggunaan yang berbeda sekalipun
secara dhohirnya memiliki makna yang sama.
Seperti contoh penafsiran yang
dilakukan oleh muridnya yang bernama Bintu Syathi’ atau Dr. Aisyah Abdurrahman,
yang belakangan kemudian menjadi istrinya. Bintu
asy-Syati’ secara konsisten mengadopsi metode yang digagas oleh Amin Al-Khulli
yang diantaranya adalah membiarkan Al-Qur’an berbicara tentang dirinya, karena
dalam teks Al-Qur’an saling menjelaskan satu sama lainnya. lebih menekankan pada aspek kebahasaan
dalam menafsirkan Al-Qur’an untuk sampai pada makna yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Pembebasan terhadap Al-Qur’an
ini bukan berarti memahami teks tanpa menggunakan perangkat, akan tetapi
setelah pertautan antara satu teks dengan teks yang lainnya diketahui, maka
cara kemudian yang dikedepankan adalah pelacakan makna yang dikehendaki teks
dengan analisis linguistik dan sastra.
Adapun salah satu temuan dari metode
yang telah diterapkan dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu mengenai sinonim kata yang
menurut para ahli linguistik memiliki arti dan penggunaan yang sama, padahal
sebenarnya setiap kata memiliki arti dan fungsi serta pemakain yang
berbeda-beda. Ketika dalam Al-Qur’an
disebutkan sebuah kata tertentu, maka kata tersebut tidak dapat diganti dengan
kata lain yang meskipun menurut sebagian orang memiliki arti yang berdekatan
bahkan sama. Karena sejatinya setiap kata dalam Al-Qur’an adalah memiliki ,akna
yang berbeda. Contohnya kata qasama, yang mana biasanya kata tersebut
disinonimkan dengan kata halafa yang berarti sumpah. Padahal keduanya
memiliki arti yang berbeda. Melalui survei deduktif dari seluruh tempat dalam
Al-Qur’an, asal kedua kata tersebut terdapat dengan berbagai bentuknya. [5]
kata qasama digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah
diniatkan untuk melanggar, sedangkan halafa selalu digunakan untuk
menunjukkan sumpah palsu yang selalu dilanggar. Begitu juga berbeda dalam
penggunaan kata fi’il maupun isim, sekalipun dari satu kata yang sama.
Misalnya, kata aamanu dan mu’min. Kedua berasal dari kata dasar
yang sama yaitu amana ya’manu, akan tetapi salah keduanya mempunyai
makna yang tak sama. Aamanu berarti setiap orang yang beriman meskipun
tingkat keimanannya belum 100%, sedangkan yang disebut mu’min yaitu yang
tingkat vkeimanannya benar-benar mencapai tingkat yang paling tinggi. Oleh
karena itu di dalam Al-Qur’an disebutkan dalam ayat tentang kewajiban puasa
yang pada ayat tersebut menggunakan kata aamanu, itu berarti orang-orang yang
beriman, meskipun tingkat keimanannya masih rendah tetap diwajibkan untuk
berpuasa, berbeda dengan surat al-mu’minun pada ayat pertama yang menyatakan kepastian
tentang kemenangan yang akan diperoleh oleh orang yang beriman. Pada ayat
tersebut menggunakan kata mu’minun yang dengan demikian berarti bahwa orang
yang akan mendapatkan sebuah kemenangan yang hakiki adalah orang beriman yang
tingkat keimanannya tinggi.
Meski demikian, penafsiran dengan
pendekatan sastra yang lebih mengedepankan aspek linguistik ini tidak dengan
serta merta hanya ditinjau dari aspek kebahasaannya saja. Sebagaimana telah
dijelaskan diawal bahwa tentunya tidak mengabaikan segala hal luar yang
berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an seperti asbabun
nuzul dan sebagainya.
D.
Penolakan Amin Al-Khulli Terhadap Tafsir ‘Ilmy
Seiring perkembangnya zaman, semakin
berkembang pula metode-metode yang digunakan oleh para mufassir untuk sampai
pada makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dan tidak sedikit metode yang
digunakan para mufassir dalam memahami makna ayat bersifat subjektif. Menurut Amin Al-Khulli, untuk menafsirkan
Al-Qur’an tidak dibenarkan jika terlalu bersifat subjektif atau bahkan terlalu mengaitkan dengan hal-hal diluar
Al-Qur’an. Oleh karena itu, Amin Al-Khulli menolak adanya tafsir ‘ilmy.
Sebelum membahas mengenai penolakan
Amin Al-Khulli mengenai tafsir ‘ilmy, perlu kiranya sedikit dibahas mengenai
tafsir ‘ilmy. Yang dimaksud dengan tafsir ‘ilmy disini yaitu sebuah tafsir yang
menilai temuan-temuan ilmiah menurut ungkapan Al-Qur’an.[6]
Jadi, mengkaji hasil temuan-temuan ilmiah yang telah dilakukan oleh peneliti yang
kemudian disingkronkan dengan ayat Al-Qur’an. Bagi sebagian mufassir hal ini
adalah hal yang wajar. Karena salah satu kemukjizatan Al-Qur’an adalah termasuk
didalamnya keilmiahan-keilmiahan yang bisa jadi penelitian itu telah termaktub
dalam Al-Qur’an jauh sebelum adanya penelitian tersebut. Akan tetapi, Amin
Al-Khulli tidak sepakat dengan pendapat seperti ini. Bukan karena menolak
kemukjizatan Al-Qur’an, hanya saja lebih kepada penekanan cara pemahaman
Al-Qur’an dengan cara pendekatan sastra yang dirasa lebih sesuai dengan mengedepankan
aspek linguistik dibanding yang lainnya untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman atau penuduhan ketidak otentikan Al-Qur’an oleh para orientalis.
Sebagaimana telah diketahui bersama
bahwa prinsip-prinsip dasar keilmiahan maupun ilmu-ilmu pengetahuan seperti
kedokteran, astronomi, ilmu hisab, kimia dan yang lainnya tidak ada seorangpun
yang dapat memberikan kaidah pasti. Semua keilmiahan yang ada didunia ini masih
bersifat tidak pasti. Seiring perkembangan zaman, muncul berbagai sarjana dari
segala penjuru yang kemudian kembali melakukan penelitian dengan hasil akhir
yaitu adanya revisi atas prinsip dasar yang telah dilakukan penelitian pasa
masa lampau. Apapun yang dilakukan peneliti sebelumnya pasti akan mmengalami
perubahan karena ilmu pengetahuan bersifat tidak pasti. Sehingga jika ilmu
pengetahuan dikaitkan dengan Al-Qur’an yang bersifat pasti dan tidak akan
berubah meski telah terjadi perkembangan zaman, ditakutkan akan memberikan
kesempatan pada para orientalis untuk merusak keautentikan Al-Qur’an itu
sendiri. Berdasarkan logika itu lah Amin Al-Khulli menolak adanya tafsir ‘ilmy.
Penolakan Amin Al-Khulli terhadap
tafsir ilmiah ini, pada prinsipnya dipengaruhi oleh perhatiannya yang sangat
besar terhadap pendekatan sastra (al-manhaj al-adabi) dalam menafsirkan
teks-teks keagamaan. Dalam pandangan Amin Al-Khulli, penafsiran Al-Quran dengan pendekatan sastra tidak lebih
merupakan bentuk penafsiran teks-teks keagamaan untuk senantiasa selaras dengan
hal-hal yang temporer dan relatif. Amin Al-Khulli menolak karena menurutnya kalangan
mufassir ilmiah
cenderung mengabaikan pemahaman terhadap konteks dan dan teks serta relasi antar
teks. Padahal, dua hal ini merupakan konsiderasi yang niscaya bagi seseorang
yang hendak mengetahui makna yang dikehendaki teks. Cara penafsiran ilmiah yang
terkesan”semena-mena” ini, menurut Amin
Al-Khulli, dapat merusak citra keagungan dan kesucian Al-Quran
sebagai teks keagamaan yang suci dan absolut.
“Ketidakberesan” tafsir ilmiah, menurut menurut Amin Al-Khulli, terletak pada
tiga aspek. Pertama, dari aspek bahasa. Penafsiran ilmiah tidak tidak
kompatibel dengan makna kata-kata Al-Quran. Kedua, dari segi filologi
dan ilmu bahasa serta sastra, Al-Quran yang diturunkan di abad ke tujuh dengan
masyarakat Arab sebagai sasaran wahyu, tentunya tidak berisi
informasi-informasi pengetahuan alam yang tidak mampu mereka pahami. Aspek
ketidaksesuaian ini dilihat dari dari ketepatan makna pesan yang dibawa
Al-Quran. Ketiga, dari segi teologis. Penafsiran ilmiah tidak tidak bisa
diterima dan tidak bisa dibenarkan karena Al-Quran merupakan kitab suci yang
mempunyai misi pesan-pesan moral keagamaan, tentu tidak bersentuhan dengan
teori-teori kosmologis. Ia merupakan kitab hidayah yang tidak boleh dipaksakan
untuk senantiasa selaras dengan penemuan-penemuan di bidang keilmuan, seperti
fisika, kimia, astronomi, biologi, yang semuanya bersifat relatif dan
kontemporer
Sedangkan
mengenai adanya sebuah pendapat yang menjelaskan tentang kebenaran kemukjizatan
Al-Qur’an yang mengandung berbagai macam keilmiahan, merupakan salah satu
ijtihad para mufassir untuk mempertahankan sebuah pemahaman bahwa ilmu
pengetahuan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
E. Kesimpulan
Amin Ibn
Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf Al-Khulli adalah nama asli
dari Amin Al-Khulli. Lahir pada 1 Mei 1895 di sekitar Menoufya, sebuah kota
kecil di Mesir. Ia merupakan salah satu inovator dalam penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan corak
penafsiran pendekatan sastra untuk memahami Al-Qur’an secara objektif.
Adapun
metode penafsiran Al-Qur’an yang diusung oleh Amin Al-Khulli ini dilakukan
dengan 2 cara, yaitu dirosah ma haula Al-Qur’an dan dirosah ma fil
Qur’an nafsihi.
Amin
Al-Khulli juga menolak adanya tafsir ‘ilmy. Karena menurutnya terdapat sebuah
ketidakberesan dalam tafsir ilmy yang mencakup 3 hal, yaitu terletak pada aspek
bahasa, filologi dan teologis.
F.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Aisyah, Tafsir Bintu
Syathi’, Bandung:Mizan, 1996.
Abied Shah, M. Aunul, Amin al Khuli
dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah
Biografi Intelektual, Bandung : Mizan, 2001.
Al-Khulli, Amin dan Nashr Hamid Abu
Zayd, Metode Tafsir Kesastraan Atas Al-Qur’an, Yogyakarta:Bina Media,
2005.
Chirzin, Muhammad, Kearifan
Al-Qur’an (Eksistensi, Idealitas, Realitas, Normativitas dan Historisitas),
Yogyakarta:Pilar Media, 2007.
Istianah, Stilisitika Al-Qur’an :
Pendekatan sastra sebagai analisis dalam menginterpretasikan al-Qur’an, Jurnal hermeunetik, Vol. 8, No. 2,
Desember 2014, STAIN Kudus.
Yusron, Dkk. Studi Kitab Tafsir
Kontemporer, Yogyakarta: Th Press, 2006.
[1] Muhammad Chirzin, Kearifan
Al-Qur’an (Eksistensi, Idealitas, Realitas, Normativitas dan Historisitas),
Yogyakarta:Pilar Media, 2007, hal. 19.
[2]M. Aunul
Abied Shah, Amin al Khuli dan Kodefikasi Metode Tafsir : Sebuah Biografi Intelektual, Bandung : Mizan,
2001, hal. 131.
[3] Yusron,
Dkk. Studi Kitab Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Th Press, 2006, hal. 6.
[4]Istianah, Stilisitika
Al-Qur’an:Pendekatan sastra sebagai analisis dalam menginterpretasikan
al-Qur’an, Jurnal hermeunetik, Vol.
8, No. 2, Desember 2014, STAIN Kudus, hal. 382.
[5] Aisyah Abdurrahman, Tafsir
Bintu Syathi’, Bandung:Mizan, 1996, hal. 21
[6] Amin Al-Khulli dan Nashr
Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Kesastraan Atas Al-Qur’an, Yogyakarta:Bina
Media, 2005, hal. 28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar